Makalah Etika dalam Berbudaya - DUNIA INFORMASI

Breaking

Wednesday 25 June 2014

Makalah Etika dalam Berbudaya

etika

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Etika Manusia dalam Berbudaya
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik–buruk, yang diterima umum atau tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa latin), akhlak, atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah–masaah yang berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk. Dalam hal ini, etika termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan dengan baik–buruk perbuatan manusia.
Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :
1.    Etika dalam arti nilai–nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
2.    Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah kode etik)
3.    Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk . Disini etika sama artinya dengan filsafat moral.
Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika yang pertama. Nilai–nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Nilai etik diwujudkan kedalam norma etik, norma moral, norma kesusilaan.
Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri.
Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar tebetuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagaiya. Tidak hanya dilarang oleh norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasaan juga sebagai bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setia hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban–kewajiban saja.
Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau penipuan, maka akan timbullah dalam hati nurani si pelanggar itu rasa penyesalan, rasa malu, takut, dan merasa bersalah.
Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh ideologi masyarakat pendukungya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang amoral, asusila atau tidak etis. Pandangan itu bisa diterima oleh orang dimana saja atau universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat barat.
Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan juga mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik. Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma–norma etik.
Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai–nilai etik pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan atau keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nilai–nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai–nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahakan mampu meningktkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.
Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu memenuhi nilai–nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini masyarakat pendukung kebudayaan . Hal ini dikarenakan berlakunya nilai–nilai etik bersifat universal, namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.
Contohnya, budaya perilaku berduaan dijalan antara sepasang muda mudi, bahkan bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal    demikian bukanlah perilaku yang etis, tetapi akan ada sebagian orang atau        masyarakat   yang   berpandangan   hal   tersebut   merupakan   suatu  penyimpangan etik.

B.   Estetika Manusia dalam Berbudaya
Estetika dapat dikatakan sebagai teori tentang keindahan atau seni. Estetika berkaitan dengan nilai indah–jelek (tidak indah). Nilai estetika berari nilai tentang keindahan.  Keindahan  dapat diberi makna secara luas, secara sempit, dan estetik murni.
1.    Secara  luas  keindahan  mengandung  ide  kebaikan,  bahwa   segala   sesuatunya yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide  kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak  hal, seperti watak yang indah, hukum yang indah, ilmu yang indah, dan  kebajikan yang indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada apakah  merupakan  hasil  seni,  alam,  moral,  dan   intelektual.
2.    Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan (bentuk dan warna).
3.    Secara estetik murni, menyangkut pengalaman estetik seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan, pendengaran perabaan dan perasaan, yang semuanya dapat menimbulkan persepsi (anggapan) indah.
Jika estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan dengan nilai tentang baik–buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang indah–jelek. Sesuatu yang estetik berarti memenuhi unsur keindahan (secara estetik murni maupun secara sempit, baik dala bentuk, warna, garis, kata, ataupun nada). Budaya yang estetik berarti budaya tersebut memiliki unsur keindahan.
Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak orang, namun nilai estetik amat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalkan dua orang memandang sebuah lukisan. Orang yang pertama akan mengakui keindahan yang terkandung dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi orang kedua sama sekali tidak menemukan keindahan di lukisan tersebut.
Oleh karena subjektif, nilai estetik tidak bisa dipaksakan pada orang lain. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk mengakui keindahan sebuah lukisan sebagaimana pandangan kita. Nilai–nilai estetik lebih bersifat perasaan, bukan pernyataan.
Budaya sebagai hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk memenuhi unsur keindahan. Manusia sendiri memang suka akan keindahan. Di sinilah manusia berusaha berestetika dalam berbudaya. Semua kebudayaan pastilah dipandang memiliki nilai–nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut. Hal–hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.
Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain. Contohnya, budaya suku–suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari dan pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya, bahkan dipandang aneh oleh warga dari suku lain, demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata–mata dalam berbudaya harus memenuhi nilai–nilai keindahan. Lebih dari itu, estetika berbudaya menyiratkan perlunya manusia (individu atau masyarakat) untuk menghargai keindahan budaya yang dihasilkan manusia lainya. Keindahan adalah subjektif, tetapi kita dapat melepas subjektivitas kita untuk melihat adanya estetika dari  budaya lain. Estetika berbudaya yang demikian akan mampu memecah sekat–sekat kebekuan, ketidak percayaan,    kecurigaan,   dan   rasa   inferioritas   antar    budaya.

C.   Memanusiakan Manusia
Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan yang melekat dalam dirinya. Manusia memiliki perikemanusiaan, tetapi binatang tidak bisa dikatakan memiliki perbintangan. Hal ini karena binatang tidak memiliki akal budi, sedangkan manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang mendorong perilaku baik sebagai manusia.
Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk seantiasa menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia memberi keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lan. Bagi diri sendiri     akan menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manuia. Sedangkan    bagi orang lain akan memberikan rasa percaya, rasa hormat, kedamaian, dan   kesejahteraan hidup.
Sebaliknya, sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia. Sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi akan menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan dendam, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan, dan peperangan terjadi diberbagai belahan dunia adalah karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan atau kolonialisme adalah contoh prilaku satu bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Dewasa ini, perilaku tidak manusiawi dicontohkan dengan adanya kasus kekerasaan terhadap para pembantu rumah tangga. Misalkan seorang pembantu disiksa, tidak diberi upah, dikurung dalam rumah,dan sebagainya. Para majikan telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sikap dan perilaku memanusiakan manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one.Prinsip kemanusiaan  tidak membeda-bedakan kita memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit,suku,agama,ras,asal,dan status sosial ekonomi. Kita tetap harus manusiawi terhadap orang lain, apa pun latar belakangnya, karena semua manusia adalah  makhluk Tuhan yang sama harkat dan martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai dengan kodrat manusia. Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan dengan hakikat kodrat manusia.  Perilaku yang tidak manusiawi akan mendatangkan kerusakan hidup manusia.

D.   Problematika Kebudayaan
Kebudayaan mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagi pemilik kebudayaan, Dinamika Kebudayaan berupa :
1.    Pewarisan Kebudayaan
Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan dapat melalui  enkulturasi (Pembudayaan), yaitu Proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dalam kebudyaan. Serta melalui sosialisasi (Proses pemasyarakatan), individu menyesuaikan diri dengan individu lain dalam masyarakat.
Beberapa masalah dalam pewarisan kebudayaan adalah sebagai berikut:
a.    Sesuai/tidaknya budaya warisan dengan dinamika masyarakat saat sekarang
b.    Penolakan generasi penerima terhadap warisan budaya
c.    Munculnya budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya warisan.

2.    Perubahan kebudayaan
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan dimana fungsinya tidak sesuai dengan bagi kehidupan. Contohnya adalah pembangunan , modernisasi .
Beerapa masalah yang muncul antara lain:
a.    Perubahan bersifat regress (kemunduran)
b.    Perubahan melalui revolusi

3.    Penyebaran Kebudayaan (difusi)
Difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu kelompok ke kelompok lain. Penyebaran kebudayaan bersifat globalisasi, yaitu penyebaran budaya secara meluas. Arnold J. Toynbee, dalam Penyebaran budaya dalil tentang radiasi Budaya sebagai berikut :
a.    Aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan individual.
b.    Kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya, makin tinggi aspek budaya, makin sulit diterima.
c.    Jika satu unsur budaya masuk, maka akan menarik unsur budaya lain.
d.    Unsur budaya yg masuk bisa berbahaya bagi masyarakat yang menerima budaya tersebut Masalah dalam difusi adalah hilangnya nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat masuknya budaya asing. Beberapa kontak antar kebudayaan selain difusi, antara lain: Asimilasi, yaitu peleburan antar kebudayaan yang bertemu, berlangsung lama dan intensif. Akulturasi, yaitu kontak antar kebudayaan namun masing-masing masih menunjukkan unsur-unsur budayanya.
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Budaya pastinya memiliki nilai, dalam hal ini etika. Etika pada umumnya membahas pandangan atau nilai yang bersifat tata-krama. Kesopanan, gotong-royong, cara, dan lainnya yang masih berhubungan dengan fisik, juga bersifat realistis, dan secara kasat mata terlihat. Budaya yang mengandung nilai etika ini memang sengaja dilestarikan sebab, mungkin telah diprediksikan sebelumnya, nilai “kemanusiaan” yang wajar akan lumpuh dimasa mendatang, seperti halnya pergeseran nilai yang telah terjadi saat ini.
Estetika, atau pandangan nilai indah yang berasal dari objek (manusia) kepada subjek (budaya) yang ada. Estetika tidak berbeda jauh dari etika. Namun dalam hal estetika, nilai berasal dari pemberi nilai baik melalui mata, hati maupun pikirannya, bukan nilai yang berasal dari ‘paksaan’ orang lain.
Pandangan nilai yang tidak bisa dipaksakan inilah yang ingin dijadikan sebuah pandangan atas berbagai macam bentuk budaya yang ada di dunia. Yang mana yang cocok dengan dirinya, yang mana baik dipandang dalam lingkungannya, yang mana berguna agar dapat dijadikan contoh dengan tetap menjaga keberlangsungan budaya selama dunia ini masih tercipta.
Baik etika maupun estetika adalah unsur yang harus ada dalam pelestariannya. Terwujudnya budaya yang tanpa dasar etika dan estetika patutlah dipertanyakan seperti mengapa budaya tersebut harus muncul dan apa manfaat budaya tersebut.

B.   Saran
Etika dan estetika berbudaya harus dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia karena pemahaman tentang Etika dan estetika budaya sangat penting dalam rangka menahan perubahan sosial yang berdampak negatif serta latar belakang mahasiswa sebagai kalangan intelektual yang menjadi panutan masyarakat luas.



DAFTAR PUSTAKA
Leslie, White. 1949. The Science of Culture. Strauss: Penerbit Farrar.

Cohen, 1964. Social Work and Social Problem. New York: Penerbit NSW.

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Attas, S.M, Al-Naquib. 1981. Islam dan Sukalarisme.Bandung: Pustaka.

No comments: