makalah landasan Hukum islam - DUNIA INFORMASI

Breaking

Wednesday 29 January 2014

makalah landasan Hukum islam


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan kerido’an-NYA Makalah dengan judul “LANDASAN HUKUM ISLAM” ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut
Akhirulkalam saya mengucapkan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam naungan kasih dan sayang-Nya.
 Wassalamualaikum Wr.Wb.

DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
B. Rumusan Masalah
C.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.       AL-QUR’AN
B.       IJTIHAD
C.        MASHALIHUL MURSALAH
D.      SADDUDZ DZARI'AH
E.       ISTISHAB
F.       ‘URF
BAB III . PENUTUP
A.    Kesimppuln
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I.
PENDAHULUA

A.   LatarBelakang
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah  bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Konsep dasar-dasar hukum Islam.?
2.  Sebutkan Dasar-Dasar Hukum Islam ,?
C.Tujuan
1.    Agar  Memahami Definisi Konsep Dasar-Dasar Hukum Islam.
2.    Untuk Mengetahui Apa saja dasar-dasar hukum islam.
BAB II PEMBAHASAN
A.       AL-QUR’AN
1.    Arti Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. Sebagai sumber hokum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama islam, jika dibaca menjadi ibadah kepada Allah.
            Al-Qur’an mempunyai nama-nama lain seperti : Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqon (yang artinya membedakan antara yang hak dan yang batil) dan Adz-Dzikru artinya peringatan.
2.    Garis-garis besar isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima :
a.    Tauhid.
b.    Tuntunan ibadah.
c.    Janji dan ancaman.
d.   Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.    Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah.
3.    Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
            Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah :
(Az-Zukhruf ayat 43)

فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍArtinya :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
Artinya :
“ maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
4.    Dasar-dasar Al-Qur’an dalam membuat hukum

            Al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk jadi petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat  manusia.
 Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu : (1) Tidak memberatkan, dan (2) berangsur-angsur.

1.    Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
(Al-Baqoroh ayat 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
a.    Mengqoshor shalat dan menjama’ .
b.    Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.

c.    Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
d.   Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.
2.    Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
a.    Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah :
 يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من نفعهما. (البقرة :219)
 Artinya :
mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. (S. Al-Baqoroh ayat 219)
lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya hrus lenyap sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :

ياايها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكرى. (النساء : 43)
 Artinya :
 Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”. (S. An-Nisa’ ayat 43)
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua. Yaitu firman Allah :

ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون. (المائدة : 90)

Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung adalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (S. Al-Maidah ayat 90)
Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula.
5.    Memetik pelajaran dari Al-Qur’an
             Selain mengetahui sebab-sebab turunya Al-Qur’an, perlu pula mengetahui cara mengambil pelajaran yang terdapat di dalamnya. terutama yang berhubungan dengan hukum.
 Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam kedudukan ayat, antara lain sebagai berikut :
 1.    Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jela. Seperti ayat :
 واقيموا الصلاة. البقرة 43
 Artinya :
 Dan dirikanlah olehmu shalat”. (S. Al-baqarah ayat 43)
 Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetepi cara melaksanakannya tidak disebutkan.
2.    Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas. Misalnya :
 واتواالزكاة. البقرة 43
 Artinya :
 Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-baqarah ayat 43)

Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.
·         Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak memberikannya, kecuali Nabi Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah :
 ·       وانزلنا اليك الذكرلتبين للناس. النحل 44
 Artinya :
Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)
 Adz-Dzikru oleh sebagian ulama’ diartikan segala yang datang dari Rasulullah, yaitu sabdanya, perbuatan dan sebagainya yang menjadi tafsir bagi Al-Qur’an, yaitu yang dinamakan “sunnah”
B.       IJTIHAD
1.    Pengertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari اجتهد -  يجتهد -  اجتهاد   “bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
             Kemudian dikalangan para ulama’ perkataan “ijtihad” ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui hukum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah perbuatan menggali hukum syar’iyyat dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
            Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan :
 الإجتهاد هو استفراغ الوسع فى نيل حكم شرعىّ بطريق الإستنباط من الكتاب والسّنّة.
         Artinya :
Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.
            Ijtihad sebagaimana dijelasakan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
2.    Hukum Ijtihad
 Menurut Syekh Muhammad Khudlaribahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a.       Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui.
b.      Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
c.       Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
 3.    Syarat-syarat Ijtihad
             Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi dua, yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus dan syarat pelengkap.
 a.      Syarat-syarat Umum
1.      Baligh
2.      Berakal sehat
3.      Memahami masalah
4.      Beriman
 b.      Syarat-syarat Khusus
 1.      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis.
2.      Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
3.      Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam.
4.      Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah.
5.      Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6.      Mengetahui ilmu ushul fiqih.
7.      Mengetahui ilmu mantiq.
8.      Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asliah.
9.      Mengetahui soal-soal ijma’.
c.       Syarat-syarat pelengkap
1.      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2.      Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka sepakati.
3.      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlaq.
4.    Tigkatan-tingkatan Mujtahid
             Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat, dan aktifitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi :
a.       Mujtahid Mutlak atau Mustaqil.
b.      Mujtahid Muntasib.
c.       Mujtahid Fil Mazahib.
d.      Mujtahid Murajjih.
C.        MASHALIHUL MURSALAH
1.    Pengertiannya
             Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
2.    Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
1.     Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a.    Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia.
 b.    Pembinaan Hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
 2.    Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
a.    Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.
b.    Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
3.    Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada nash yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an tetapi oleh ummat Islam hal ini dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat ummat.
4.    Dalam pernikahan mengadakan pensyaratan adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah dan pembagian pusaka.

3.    Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul Mursalah
1.    Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.    Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.    Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma'.

D.      SADDUDZ DZARI'AH
1.    Pengertiannya
 Dyara'i jamak dari kata dzari'ah artinya jalan. Saddudz dzari'ah berarti menutup jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqih bahwa yang di sebut dengan dzari'ah ialah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
2.    Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1.    Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2.    Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits nabi saw. dikatakan :

دع مايربك الى مالايربك
Artinya :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".

E.       ISTISHAB
1.    Pengertiannya
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
2.    Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Jumhur ulama mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
Dari prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut :
 a.    Asal sesuatu itu tetap sebagaimana adanya :
 الاصل بقاء ماكان على ماكان
 Artinya :
"Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
Misalnya hukum asal makanan dan minuman adalah lala.
b.    Apa yang telah diyakini adanya, tidak hilang karena adanya keragu-raguan.
 ما ثبت باليقين لايزول بالشّك
Misalnya seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).
c.    Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh), sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء الاباحة
Misalnya asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.
F.          ‘URF
1.    Pengertiannya
Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Diantara contah urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
2.    Macam-macam Urf dan Hukumnya
a.    Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
b.    Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama.
3.      Kedudukan Urf sebagai sumber hukum
Untuk urf shahih haruslah dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dan proses peradilan.

BAB III .
PENUTUP

A.    Kesimppuln
1.    Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.  Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah  bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
2.    Dasar-Dasar Hukum Islam
a. Al-Qur'an
b. ijtihad
c. Mashalihul mursalah
d. saddudz dzari’ah
e.istishab
f.urf

B.Saran
Demikian uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori – Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
Umam, Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998
As Syafi’I Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998
Syekh Musthofa Thomum, Qowaidu Lil Lughoh Al Arabiyah, Al Hidayah, Surabaya.

Sumber hukum islam
Fiqih madrasah aliyah 3                            

No comments: