KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA
sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas
sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan
kerido’an-NYA Makalah dengan judul “LANDASAN HUKUM ISLAM” ini dapat
terselesaikan.
Penulis
menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini
tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan
lebih lanjut
Akhirulkalam
saya mengucapkan semoga Allah SWT membimbing kita semua dalam naungan kasih dan
sayang-Nya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
DAFTAR ISI
BAB I.
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
B. Rumusan
Masalah
C.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
B. IJTIHAD
C. MASHALIHUL MURSALAH
D. SADDUDZ DZARI'AH
E. ISTISHAB
F. ‘URF
BAB III .
PENUTUP
A. Kesimppuln
B.Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I.
PENDAHULUA
A. LatarBelakang
Syariat
Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat
maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi
mengemukakan dalam maqoshid syariah
bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa
tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah)
umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan
syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh
menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang
hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an:
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir”. (Qs. 17:18)
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Pengertian Konsep dasar-dasar hukum Islam.?
2. Sebutkan Dasar-Dasar Hukum Islam ,?
C.Tujuan
1. Agar
Memahami Definisi Konsep Dasar-Dasar Hukum Islam.
2. Untuk Mengetahui Apa saja dasar-dasar hukum
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
1. Arti Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT.
Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad s.a.w. Sebagai
sumber hokum dan pedoman hidup bagi pemeluk agama islam, jika dibaca menjadi
ibadah kepada Allah.
Al-Qur’an mempunyai nama-nama lain
seperti : Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqon (yang artinya membedakan antara yang
hak dan yang batil) dan Adz-Dzikru artinya peringatan.
2. Garis-garis besar isi Al-Qur’an
Pokok-pokok
isi Al-Qur’an ada lima :
a. Tauhid.
b. Tuntunan ibadah.
c. Janji dan ancaman.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup
bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada
Allah.
3. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an
itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia
untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya,
sebagaimana firman Allah :
(Az-Zukhruf
ayat 43)
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ ۖ
إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍArtinya :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
Artinya :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
Artinya :
“ maka
berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (Az-Zukhruf ayat 43)
4. Dasar-dasar Al-Qur’an dalam membuat hukum
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada
nabi Muhammad untuk jadi petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an selalu berpedoman kepada 2 hal yaitu
: (1) Tidak memberatkan, dan (2) berangsur-angsur.
1. Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah
:
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”.
(Al-Baqoroh
ayat 286)
Dengan
dasar-dasar itulah, kita boleh :
a. Mengqoshor shalat dan menjama’ .
b. Boleh tidak berpuasa apabila dalam
bepergian.
c. Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
d. Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika
dalam keadaan memaksa.
2. Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah membuat
hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
a. Mengharamkan sesuatu secara
berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian,
sebagaimana firman Allah :
“ mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan
dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan
perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih
besar daripada manfaatnya”. (S. Al-Baqoroh ayat 219)
lalu
datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan jalan
mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya hrus lenyap
sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :
ياايها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكرى.
(النساء : 43)
Kemudian
datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah
banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat
yang pertama dan yang kedua. Yaitu firman Allah :
ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب
والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون. (المائدة : 90)
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi,
berhala dan bertenung adalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan,
maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (S.
Al-Maidah ayat 90)
Demikian
Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan
hukumpun secara berangsur-angsur pula.
5. Memetik pelajaran dari Al-Qur’an
2. Ada yang perintahnya jelas, tetapi
ukurannya tidak jelas. Misalnya :
Ayat ini
jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan nishabnya tidak
diterangkan di dalam ayat ini.
· Kalau kita
menjumpai ayat-ayat semacam ini, maka perlu sekali adanya penjelasan lebih
lanjut. Penjelasan ini tidak ada yang berhak memberikannya, kecuali Nabi
Muhammad saw. Sebagaimana firman Allah :
“Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia”. (S. An-Nahl ayat 44)
B. IJTIHAD
1. Pengertian dan Peranan Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari اجتهد -
يجتهد - اجتهاد
“bersungguh-sungguh, rajin, giat”.
Imam Ghozali mendefinisikan ijtihad
sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau
menetapkan hukum syari’at. Dalam batasan lain dikatakan :
”Ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan
hukum syara’ dengan jalan istimbat (mengeluarkan hukum) dari kitab dan sunnah.
Ijtihad sebagaimana dijelasakan di
atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penetapan status hukum suatu
masalah yang belum ada hukumnya secara rinci baik dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat
dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut.
Dengan ijtihad masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status
hukumnya.
2. Hukum Ijtihad
a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang
ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya
diketahui.
b. Wajib Kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya
tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang
selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah
menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid
yang lain telah gugur.
c. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu
masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
1. Baligh
2. Berakal sehat
3. Memahami masalah
4. Beriman
2. Mengetahui sunnah-sunnah nabi yang
berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
3. Mengetahui maksud dan rahasia hukum
islam.
4. Mengetahui
kaidah-kaidah kulliyah.
5. Mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab.
6. Mengetahui ilmu ushul fiqih.
7. Mengetahui ilmu mantiq.
8. Mengetahui penetapan hukum asal
berdasarkan bara’ah asliah.
9. Mengetahui soal-soal ijma’.
c. Syarat-syarat pelengkap
1. Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy
yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2. Mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama’ dan yang akan mereka sepakati.
3. Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak
bersifat mutlaq.
4. Tigkatan-tingkatan Mujtahid
a. Mujtahid Mutlak atau Mustaqil.
b. Mujtahid Muntasib.
c. Mujtahid Fil Mazahib.
d. Mujtahid Murajjih.
C. MASHALIHUL MURSALAH
1. Pengertiannya
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat
mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
1. Jumhur ulama menolaknya sebagai sumber
hukum, dengan alasan :
a. Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang
dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia.
a. Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah
dan tidak ada habis-habisnya.
b. Para sahabat dan tabi'in serta para
mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada
petunjuknya dari syari'.
3. Dalam Al-Qur'an dan hadits, tidak ada nash
yang memerintah pengumpulan mushaf Al-Qur'an tetapi oleh ummat Islam hal ini
dilakukan, tiada lain ialah karena mengingat maslahat ummat.
4. Dalam pernikahan mengadakan pensyaratan
adanya surat nikah, untuk sahnya gugatan, nafkah dan pembagian pusaka.
3. Syarat-syarat Berpegang Kepada Mashalihul
Mursalah
1. Maslahat itu harus jelas dan pasti dan
bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahaat itu bersifat umum, bukan untuk
kepentingan pribadi.
3. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat
itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan
nash atau ijma'.
D. SADDUDZ DZARI'AH
1. Pengertiannya
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
1. Menurut Imam Malik, jalan-jalan yang
mendatangkan kerusakan itu harus dihindarkan.
2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i,
bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang
menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam
sebuah hadits nabi saw. dikatakan :
دع مايربك الى مالايربك
Artinya :
"Tinggalkan
apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
E. ISTISHAB
1. Pengertiannya
Istishab
ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan
sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
2. Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
Jumhur ulama
mengatakan bahwa istishab dapat dijadikan pegangan sebagai hujjah, karena dalam
sejarah kehidupan manusia sudah terbiasa dan menjadi kekuatan hukum bila
berpegang kepada hukum yang berlaku sebelumnya.
Dari
prinsip-prinsip ini ditetapkan kaidah-kaidah fiqih sebagai berikut :
"Pada
dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya".
Misalnya
hukum asal makanan dan minuman adalah lala.
b. Apa yang telah diyakini adanya, tidak
hilang karena adanya keragu-raguan.
Misalnya
seorang yang telah berwudlu kemudian dia ragu-ragu, apakah wudlunya sudah batal
atau belum, maka wudlunya tetap ada (tidak batal).
c. Asal hukum sesuatu adalah ibahah (boleh),
sampai ada dalil yang mengharuskan meninggalkan hukum tersebut.
الاصل فى الاشياء الاباحة
Misalnya
asal hukum akad jual beli itu boleh.
Sebagian
ulama berpendapat, terutama golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istishab itu
hanya berlaku bila dipergunakan untuk menolak.
F. ‘URF
1. Pengertiannya
Urf ialah
segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat
dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun
meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat
itu tidak ada perbedaanya. Diantara contah urf amali ialah jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat.
Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk
laki-laki, bukan untuk perempuan.
2. Macam-macam Urf dan Hukumnya
a. Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal
orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang
haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini diperbolehkan dan
bahkan harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan
maslahat bagi manusia.
b. Urf Fasid, yaitu segala sesuatu yang sudah
dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syari'at, atau menghalalkan yang
haram dan menggugurkan kewajiban. Urf seperti ini hukumnya haram, sebab
bertentangan dengan ajaran agama.
3. Kedudukan Urf sebagai sumber hukum
Untuk urf
shahih haruslah dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dan
proses peradilan.
BAB III .
PENUTUP
A. Kesimppuln
1. Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan
kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni
semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum,
dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan
kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara
bersamaan.
2. Dasar-Dasar Hukum Islam
a. Al-Qur'an
b. ijtihad
c.
Mashalihul mursalah
d. saddudz
dzari’ah
e.istishab
f.urf
B.Saran
Demikian
uraian makalah yang dapat penulis sajikan, apabila terdapat kesalahan baik
dalam penulisan maupun dalam pemaparan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena
itu, tidak lupa kritik dan saran selalu kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori – Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996
Umam,
Khairul, A, Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 1998
As Syafi’I
Karim, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999
Rahmat
Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1998
Syekh
Musthofa Thomum, Qowaidu Lil Lughoh Al Arabiyah, Al Hidayah, Surabaya.
Sumber hukum
islam
Fiqih madrasah aliyah 3
No comments:
Post a Comment