Sistem Pemerintahan
Akulturasi
Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan
munculnya Akulturasi. Akulturasi merupakan perpaduan 2 budaya dimana
kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi
serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja
melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli.
Hal ini disebabkan
karena:
1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan
yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local
genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur
kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi
kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan
akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut
merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan
kebudayaan Indonesia.
a. Kerajaan Maurya
Pendiri kerajaan Maurya adalah Chandragupta. Kerajaan ini
didirikan 322-298 SM. Dalam pemerintahannya, India mencapai kemajuan dan mempunyai
kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan, kehakiman, perekonomian, serta cara
pertahannan yang teratur. Pusat kekuasaan adalah raja, dibawahnya terdapat
raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah atau provinsi-provinsi. Pertahanan
dalam negeri sangat kuat. Kaum Brahma mendapat perlindungan yang sangat besar.
Chandragupta suatu ketika menarik diri dari pemerintahan dan pengikut Jaina
setelah terjadi kelaparan selama sepuluh tahun. Ia digantikan oleh puteranya
Bindusara (298-272 SM).
Pada pemerintahan Bindusara ini tidak begitu terlihat ada
kemajuan-kemajuan. Bindusara digantikan oleh Asoka Vardhana (272-232 SM). Asoka
meninggalkan agama Brahma dan memeluk agama Budha, sehinggapada saat itu agama
Budha dijadikan sebagai agama kerajaan. Asoka beramanat supaya diantara
agama-agama dan mazhab-mazhab harus ada ikatan persaudaraan dan perdamaian,
setiap agama merdeka mandapat kebaktian dan perlindungan yang sama dari raja.
Dalam agama Budha percaya bahwa manusia dalam hidupnya melalui beberapa tingkat
dalam menjelma menjadi suatu jenis makhluk. Penjelmaan itu ditentukan oleh
karma. Oleh karena itu manusia dan penjelmaannya tidak boleh dibunuh. Setelah
Asoka meninggal ia digantikan oleh puteranya yaitu Dasaratha. Namun Dasaratha
waktu itu diserang oleh kaum Brahma yang kedudukannya dibelakangkan, dan
akhirnya kerajaan ini mengalami kemunduran.
b. Kerajaan Gupta (320-656 SM) Pendirinya ialah Chandragupta
1, ia memerintah pada tahun 320-330. Raja ini berasal dari derah yang kecil
dekat Pataliputra menikah dengan putri Kumara Devi dari bangsa Lichchavi. Dari
pernikahannya ia mewarisi seluruh lembah Gangga. Ia digantikan oleh puteranya
Samudra Gupta. Samudra Gupta memerintah pada tahun 330-375. Samudra Gupta
adalah Brahmin yang setia dengan Hindu. Ia memerintah daerah Hindustan,
sebagian dari India Utara dan India Tengah. Samudra Gupta adalah salah satu
raja yang termasyhur dari beberapa raja di India. Samudra Gupta digantikan oleh
Chandra Gupta ll Vikramaditya. Ia memerintah dari tahun 375-415. Dibawah
pemerintahannya kerajaan India mencapai kemajuan. Keadaan kerajaan amat makmur
dan sentosa, pemerintahan dijalankan dengan bijaksanaselama 30 tahun. Namun
setelah ia wafat kerajaan ini mengalami kemunduran, terutama karena desakan
bangsa Huna (Huns) dari utara dan sikap raja-raja penggantinya yang tidak
cakap. Kira-kira 70 tahun setelah ChandraGupta ll wafat, Kerajaan Gupta
terpecah belah.
c. Kerajaan Harsha Rajanya bernama Suhasta Mama Maharaja
Diraja Sri Harsha Wardana, memerintah tahun 606 hingga 647, yaitu raja terakhir
dari raja India yang masyhur harsha berasal dari keturunan raja kecil, namun
ibunya termasuk keturunan raja Gupta. Harsha berusaha memperkuat tentaranya.
Setelah cukup kuat, ia memperluas kakuasaan dari India Utara sampai ke Teluk
Benggala. Hanya saja saat ia melawan kerajaan Chalukya di India Tengah ia
bdikalahkan oleh raja Pulakhesin ll (raja terkenal kerajaan Chalukya). Harsha
memerintah selama 46 tahun. Pada akhir pemerintahannya ia menjadi seorang
santri (Sangha) Budha. Pada tahun 647 raja Harsha wafat setelah memerintah 46
tahun. Ia adalah raja yang membawa keamanan dan kemakmuran dan membangkitkan
India kembali dari penindasan bangsa Huna. Tapi setelah kemakmuran kembali,
terjadilah permusuhan antara raja-raja yang berkuasa dibawah Harsha. Persatuan
India lenyap sampai zaman Islam, dalam lima abad mendatang mengalami perpecahan
dan kekacauan.
Perkembangan
Kerajaan- kerajaan Hindu di Kepulauan Indonesia dan Malaysia tidak lepas dari
proses adaptasi selektif kebudayaan India yang disesuaikan dengan pola atau
tradisi lokal atau disebut sebgai local genius oleh para pemimpin Austronesia
dengan dukungan sistem perdagangan maritim yang kuat. Konsep kerajaan menurut
tradisi Hindu yaitu sebuah alam-semesta kecil yang berupa mandala yang dipimpin
oleh raja dan dikelilingi oleh kekuatan konsentris yang terdiri dari para
pendeta, pemerintah, bangsawan, tentara, dan rakyat jelata. Masing-masing
mandala mewakili area kekuasaan inti sang tuan tanah.
Konsep kerajaan
tersebut dapat juga berupa kerajaan-kerajaan yang dibawahi atau tunduk pada
seorang tuan tanah besar atau maharaja. Dan konsekuensi dari konsep diatas
adalah bahwa kerajaan-kerajaan bawahan harus membayar upeti kepada sang
maharaja secara berkala. Tetapi walaupun begitu penguasa kerajaan bawahan
tersebut mempunyai kekuasaan murni terhadap kerajaan yang diperintahnya.
Menurut Coedes adalah bahwa kerajaan- kerajaan Hindu memiliki kebudayaan yang
terorganisasi berdasarkan konsep agama Hindu dan menganut kepercayaan Hindu
Budha, dan bersamaan dengan mitologi puranas, ketaatan pada Dharmasastra dan
penggunaan bahasa sansekerta sebagai alat komunikasi bagi golongan penguasa.
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kerajaan- kerajaan
pertama tersebut menggunakan struktur pemerintahan yang dibentuk oleh
Arthasastra (pakta pemerintahan). Artasastra sendiri adalah pedoman bagi para
pemimpin dimana sebuah pemerintahan yang baik harus mengandung tujuh kaki
dasar, unsur tersebut diantaranya; Raja, Menteri, Kerajaan, Benteng,
Perbendaharaan, Tentara, dan sekutu. Arthasastra juga mengatur mengenai
hubungan kerajaan dengan kerajaan lain, penegakan hukum, dan penyelesaian
perbedaan pendapat. Ajaran ini juga menyebutkan mengenai seorang pendeta
Brahmana yang fungsinya sebagai penasihat raja dan pemuka keagamaan serta
pendidik militer. Hal ini tidak lepas dari pendidikan dan pengetahuan yang
dimiliki oleh para brahmana tersebut diantaranya ilmu sosial, pengobatan,
matematika, arsitektur, dan persenjataan.
Raja dalam hal ini
haruslah memiliki sikap yang fleksibel terhadap posisi dan tanggung jawab para
pengikutnya. Raja sebgai sebuah jabatan yang sangat sulit untuk diemban, raja
harus mampu menjadi seorang penengah dan juru damai bagi orang-orang bertikai,
menghargai kesetiaan bawahan, dan selalu berusaha untuk menjaga kesatuan
negaranya. Karena tugas yang sangat berat inilah raja memerlukan brahmana untuk
membantu mengurusi pegawai pemerintah. Brahmana-brahmana yang datang ke dalam
istana tidak semata untuk memberikan siraman rohani, namun mereka diberi tugas
untuk mendidik pegawai pemerintah. Didikan terhadap pegawai pemerintah ini
diharapkan agar pegawai pemerintah dapat meningkatkan sisitem manajeman dan
kemakmuran di setiap bidangnya. Brahmana juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
menurut kemempuannya, guna mendidik para pegawai pemerintah.
Perekonomian
kerajaan-kerajaan hindu awal umumnya bertumpu pada perdagangan internasional,
sehingga fungsi terpenting dari pemerintahan mereka berkaitan dengan bandar-
bandar, armada yang dimiliki, pajak, keadilan, dan pertanahan mereka. Selain
berbasis pada perdagangan, perekonomian, terutama di Jawa bertumpu pada
pertanian. Hal ini tidak lepas dari perkembangan sistem feodalisme yang masih
melekat pada jiwa masyarakat Hindu-Budha pada masa itu. Karena faktor itulah
banyak para penguasa-penguasa kerajaan tersebut memberikan perintah untuk
membuat kanal- kanal saluran irigasi seperti disebutkan dalam prasasti Tugu.
Dengan bertambahnya
populasi penduduk dan peningkatan standar pendidikanyang dipegang oleh kaum
Brahmana, secar berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn atas:
hierarki abdi kerajaan, bangsawan adan tuan tanah, struktur lokal pada tingakt
desa.
Abdi kerajaan ini
sebagai penasihat raja, dan mediator antara orang jelata dengan para bangsawan
atau pejabat istana.
Para tuan tanah
disamping memperoleh pendapatan dari desa yang tanahnya merupakan daerah
kekuasaanya juga memiliki kewajiban untuk menajalankan setiap peraturan
kerajaan dan mengamankan hasil bumi, pajak, dan upeti yang sangat penting untuk
mendukung kerajaan dan pemerintahan didalamnya.
Dewan lokal ini
diangkat oleh para tetua desa yang biasanya mengikuti aturan yang ditetapkan
oleh tradisi lokal yang disebut sebagai adat. Saran dan nasehat mereka
dipertangungjawabkan didepan para bangsawan pada komunitas desa itu.
Keamanan kerajaan
tersebut dipercayakan kepada pasukan non-permanen yang profesional yang
biasanya merupakan tentara bayaran yang biasanya direkrut dari para pengikut
bangsawan dan raja.
Sekian ringkasan yang saya buat tentang Akulturasi Kebudayaan
Nusantara dan Hindu Budha pada Sistem Pemerintahan saya ucapkan terima kasih.
No comments:
Post a Comment