Pasal 1. DEFINISI.
SAYA terjemahkan dengan
penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah untuk menentukan batas-batas
yang tepat suatu perkataan atau hukum atau paham. Lebih dahulu mesti kita
definisikan definisi itu sendiri. Lebih dahulu kita pastikan kepastian itu
“Apakah definisi itu?” adalah pertanyaan yang kita lebih dahulu mesti jawab.
Tanpa definisi, tak bisa ada sains, seperti sebetulnya keadaan di seluruh dunia
Asia sebelum Barang datang. Tak beres definisinya, maka morat marit, cantang
perenang dan kacau balaulah sains. Cabang sains yang mau diuraikan seperti ilmu
bumi umpamanya, mesti dipastikan dibatasi, didefinsikan lebih dahulu. Kalau
tidak, pembicaraan bisa meluap, mengembara kian kemari, melampaui dan
meninggalkan cakupannya. Madilog ini umpamanya, ialah satu perkara tentang cara
berpikir. Perkara lain, tetapi berhubungan kena mengena dengan Madilog boleh
dan mesti diuraikan, tetapi tak boleh melewati dan menyesatkan Madilog dari
pokoknya, dari tujuannya, yaitu perkara cara berpikir.
Sesudah cabang sebuah ilmu
pengetahuan yang mau diuraikan itu didefinisikan, maka perlulah dipastikan
materi bahannya lebih dahulu, yakni segala bukti yang menjadi sendir dari ilmu
pengetahuan itu.
Akhirnya, hukum yang
diperoleh sebagai hasil pemeriksaan yang tenang mesti dipastikan betul-betul.
Demikianlah pentingnya definisi dalam ilmu pengetahuan.
Satu definisi mesti cocok
dengan perkara pertama, seperti disebut di atas mesti accurat, jitu, tepat.
Apakah yang bisa dinamai jitu, tepat, dan akurat itu? Kalau materi yang
dipastikan, didefinisikan itu terbatas, terpagar, dan semuanya berada dalam
batas-batas itu (Inggrisnya : mark
of the thing, refer to all things). Kalau pagar pembatasannya tak
rapi dan tak semua materi berada dalam pagar itu, maka definisi itu gagal.
Dari materi yang mana ia
dipagari? Dari materi yang satu golongan, satu kelas dengannya, tetapi
mempunyai perbedaan.
Jadi definisi itu
bermaksud: pertama, menentukan golongan kelas suatu barang. Dan kedua,
perbedaan barang itu dengan barang lain yang satu kelas, satu golongan
dengannya. Definisi itu mesti menampakkan essential attributes, sifat-sifat utama.
Sifat-sifat yang utama ialah kelas dan perbedaan.
Contoh: kita mau
memastikan, mendefinisikan manusia. Lebih dahulu kita mesti mencari golongan,
kelas manusia, yaitu hewan. Tetapi hewan itu cukup luas cakupannya. Di dalamnya
termasuk ular, kerbau, monyet, dll. Kita tahu monyet itu hewan, dan manusia itu
termasuk golongan hewan. Dalam hal ini manusia dan monyet tadi memang
bersamaan. Tetapi kanak-kanak pun tahu bahwa manusia bukan monyet, dan monyet
bukan manusia. Jadi definisi kita tadi, bahwa manusia itu hewan belumlah pas.
Kita mesti mencari perbedaan dengan monyet yang satu kelas dengan manusia itu.
Kita tahu, atau sekarang ini kita percya (mesti belum tentu besok keyakinan ini
tetap benar) bahwa manusia itu mempunyai akal, dan monyet tidak, cuma
berinsting.
Manusia pandai berpikir
menurut hukum yang kita namai hukum berpikir atau logika, tetapi monyet cuma
berinsting, berkecerdasan yag diberikan alam padanya. Pendeknya, menurut
pengetahuan kita sekarang, perbedaan manusia dengan monyet adalah bahwa yang
pertama pandai berpikir dan yang kedua tidak.
Definisi, kepastian yang
sempurna tentang manusia, sekarang ada seperti berikut :”manusia ialah hewan
yang berpikir”. Definisi semacam ini sudah bisa menjawab dua syarat definisi:
golongan atau kelas sebuah benda, dan perbedaan antara benda itu.
- Masuk
golongan apa manusia itu? Jawab: masuk golongan hewan.
- Apa
perbedaan manusia dengan monyet yang masuk golongan hewan juga? Jawab:
manusia pandai berpikir, monyet tidak.
Selama kita belum mendapat
kepastian bahwa monyet tak pandai berpikir, maka tingkat daya upaya kita yang
pertama untuk mendapatkan definisi tadi sudah selesai. Dalam hal ini kita mesti
naik ke tingkat kedua. Kita mesti uji terus apakah definisi tadi betul memadai.
Sekarang mesti kita periksa. Pertama, apakah semua barang yang mau kita
definisikan itu (dalam hal ini manusia) masuk ke dalam pagar pembatas atau
tidak semuanya. Kedua, apakah ada barang lain yang bukan manusia masuk ke dalam
batas itu.
Kalau kita tahu bahwa semua
A = B maka sebaliknya, kita mesti bertanya apakah semua B = A. Kalau jawabnya
ya, barulah selesai. Tegasnya, kalau kita tahu semua manusia adalah hewan yang
berpikir, maka kita mesti bertanya apakah semua hewan yang berpikir itu manusia?
Kalau jawabannya ya, maka benarlah definisi itu. Kalau tidak, gagallah
percobaan kita.
Marilah kita periksa apakah
semua manusia itu adalah hewan yang berpikir.
Kita tahu umpamanya,
tetangga kita selalu dipasung. Apa yang dia bilang, kita tidak mengerti.
Menggelikan atau menyedihkan hati kita. Orang bilang tetangga ini “gila”.
Otaknya sakit, tak beres lagi kerjanya. Dulu beres, Sekarang tidak.
Tidak apa, ini adalah
satu exception,
satu perkecualian. Sains pun mempunyai exeption.
Lagi satu keberatan. Wak Gaib nama kenalan kita itu, cakapnya lain dari orang
biasa. Tadi malam katanya ia “naik nafas” pergi ke Kairo berjumpakan Sultan
Farouk. Tadi malam juga dia balik ke desa Sawarga, tempatnya tinggal. Cerita
semacam ini memang tak masuk pada akal kita manusia biasa. Ini pun satu exeption dari
manusia dipasung tadi. Wak Gaib dari desa Sawarga, juga satu perkecualian dari
manusia biasa. Tetapi, perkecualian ini tidak seperti perkecualian biasa. Kedua
manusia di atas berotak juga dan otaknya berpikir juga, walaupun hasil
pikirannya tak sama dengan buah pikiran orang normal.
Untuk sementara, ujian kita
lulus, ujian tentang “semua manusia adalah hewan yang berpikir” itu bisa
dipakai. Sekarang mesti kita periksa sebaliknya, apakah semua hewan yag
berpikir itu manusia.
Walaupun banyak cerita dari
pemburu, penggembara, naturalisten,
ahli hewan dan tumbuhan yang membuktikan kecerdasan binatang seperti serigala,
gajah, monyet, kancil dan pelanduk dalam peri kehidupan mereka, sementara boleh
kita putuskan: tak ada di antara hewan yang bukan manusia itu pandai berpikir.
Malaikat umpamanya, pandai berpikir. Tetapi kita manusia biasa belum pernah
berjumpa malaikat dan kita tak bisa memanggil malaikat pada tempat dan waktu
yang kita pilih, seperti kita bisa nyalakan api asal ada latnya pada waktu dan
tempat yang kita kehendaki.
Untuk sementara, tak kita
dapati barang yang bukan manusia termasuk dalam golongan hewan yang berpikir.
Semua manusia termasuk hewan yang berpikir. Sebaliknya tak ada yang bukan hewan
berpikir termasuk jadi manusia. Semua hewan berpikir itu manusia belaka (A=B
dan B=A). Jadi sementara benarlah definsi kita. Luluslah ujian pada tingkat
kedua. Tetapi kerja kita belum lagi sempurna. Kita mesti naik ke tingkat tiga,
tingkat penghabisan.
Pada tingkat ini kita mesti
periksa, apakah definisi kita mencukupi segala syarat berikut :1. Definisi
sebisa-bisanya singkat, tetapi jangan terlalu luas atau terlalu sempit.2.
Definisi tak boleh circular atau
berputar-putar.3. Definisi itu mesti general atau
umum.4. Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif,
penggambaran, kata yang obscurate,
menggunakan perkataan gaib, samar.5. Definisi tak boleh memakai kalimat
negatif.
Marilah kita jelaskan satu
persatu.
1. Definisi itu
sebisa-bisanya singkat. Sebisa-bisanya!
Ada kalanya tidak bisa
dipendekkan. Kalau dipendekkan maknanya menjadi sempit. Definisi tak boleh
terlalu sempit dan tak boleh terlalu luas. Kalau saya bilang “manusia itu
hewan”, maka betul definisi singkat tapi juga monyet dan ular termasuk hewan.
Jadi kalau definisi ini kita balik, kita dapati “hewan itu manusia”. Tegasnya,
ular, kerbau dan monyet itu manusia. Begitu juga kalau saya bilang “manusia itu
hewan bermata dua sebab kera dan ikan bermata dua.”
Definisi itu tak boleh
sempit, ia mesti punya essential attributes:
segala sifat penting yang tak boleh lupa. Kalau kita katakan kuda itu binatang
memamah, maka definisi itu terlalu luas sebab kerbau juga binatang memamah.
Tetapi jika kita berkata “kuda itu binatang memamah buat ditunggangi Pangeran
Diponegoro”, maka artinya menjadi terlalu sempit sebab selain untuk ditunggangi
Pangeran Diponegoro, dia juga dipakai buat penarik delma, bajak dsb.
Dalam matematika kita lebih
mudah mencari contoh. Sebab memang matematika adalah buah pikiran yang pasti
berdasar bukti yang didefinisikan lebih dahulu.
Demikianlah square, bujursangkar
ialah satu gambar datar tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang,
mempunyai 4 sudut siku-siku. Di sini bukan satu saja sifat yang penting.
Pertama, dia mesti “gambar datar tertutup”, bukan gambar pada tempat bertinggi
rendah. Bukan terbuka, melainkan semua sisinya bertemu. Kedua, dia mesti
dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, bukan 3 atau 5. Garisnya lurus tak
boleh bengkok, panjang garis itu sama pula. Ketiga, 4 sudutnya mesti siku-siku.
Satu pun dari ketiga sifat diatas tak boleh tertinggal. Kalau tertinggal
bukan square yang
kita peroleh.
Memang definsi
sebisa-bisanya pendek, tapi mesti mengandung semua sifat penting.
2. Definisi itu tak
boleh circular,
berputar-putar.
Kesalahan ini didapat kalau
kita memakai perkataan lain yang bersamaan artinya. Contoh dari Aristoteles.
“Tumbuhan ialah benda hidup yang mempunyai jiwa vegetable”.
Sedangkan vegetable itu
artinya tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “tumbuhan ialah barang
hidup yang mempunyai jiwa tumbuhan”. Di sini nyata, tumbuhan balik artinya pada
tumbuhan. Setali tiga uang. Dengan begitu kita tak mendapat kepastian
penjelasan tentang tubuhan. Demikianlah kalau Mahatma Gandhi mendefinisikan
bahwa “ahimsa itu soul
force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasihan, seperti simpati,
rohani. Apakah “kekuatan jiwa itu”? Itulah yang perlu lagi dibuktikan dengan
mengganti nama baru yang mesti diterangkan pula, maka pekerjaan itu
berputar-putar di sana saja, seperti menghesta kain sarung. Begitulah seorang
kenalan saya tak akan memberi keterangan apa-apa, kalau definition itu
dia jelaskan begini : “Definition,
ialah satu ketentuan yang pasti, yang ditentukan oleh ketentuan yang tentu”.
Disini dia pakai perkataan “ketentuan” dan “pasti” berulang-ulang, artinya sama
dengan definisi. Meskipun definisinya itu panjang, dia tak memberi keterangan
baru, karena keterangan yang diberikannya itu tak berpangkal tak berujung.
3. Definisi itu mesti
general atau umum.
Dia mesti umum, biasa,
lebih dikenal dari para barang yang hendak didefinisikan. Hewan lebih umum,
lebih luas cakupannya daripada manusia. Sebab ke dalam daerah hewan termasuk
juga monyet, ular, ikan, dan bukan saja manusia. Tetapi walaupun cakupannya
lebih luas, pengertian umum itu sebisa-bisanya lebih dikenal, jangan diketahui
oleh kaum istimewa saja, kaum terpelajar saja umpamanya. Contohnya definisi
berikut ini. Walaupun betul, cuma diketahui oleh sebagian kecil manusia saja.
“Jam adalah sebuah kronometer untuk mengukur waktu dengan jitu”. Cukuplah kalau
dibilang “jam adalah perkakas buat mengukur waktu”. Tak perlu kita pergi ke
kapal, dimana orang pakai semacam jam istimewa yang bernama kronometer untuk
pekerjaan yang kurang dikenal khalayak! Kecuali kalau tak ada cara alin
daripada cara khusus ini tadi.
4. Definisi tak boleh
memakai metafor, perumpamaan, kata figuratif dan kata yang obscurate, gaib.
Kita dengan definisi hendak
memastikan, membuktikan dan menerangkan suatu barang. Dengan memakai ibarat
saja, penggambaran saja dan memakai perkataan gaib yang tidak bisa dikenali
panca indera, barang yang mau kita definisikan itu tak akan bertambah nyata.
Malah sebaliknya.
Demikianlah kalau seorang
penyair, tukang metafor yang tulen, mengumpamakan dirinya sebagai “sepantun
anak ikan yang di waktu pasang besar hanyutlah ia”. Dalam satu hal dia memiliki
persamaan dengan ikan. Ikan dihanyutkan pasang dan si penyair dihanyutkan
sengsara hidup, walaupun sengsara hidupnya itu seringkali cuma didapat di ujung
pena Parker-nya saja. Tapi lain dari itu tak banyak persamaan anak ikan tadi
dengan penyair kita. Kalau dalam mendefinisikan penyair kita definisikan anak
ikan sebagai gantinya, maka masuklah pula segala sifat anak ikan yang tak ada
pada si penyair. Umpamanya kepala si anak ikan selalu dingin, kecuali kalau
sudah masuk kuali. Sedangkan kepala si penyair belum tentu dingin, adem selalu.
Begitu juga dengan memakai
gambaran atau memakai kata-kata gaib, barang yang akan dipastikan tak akan
bertambah pasti, malah sebaliknya bertambah gaib.
Demikianlah kalau sekiranya
saya sajikan definisi tentang Rohani kepada pembaca yang terhormat: “Rohani itu
ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda Rajawali yang mengendari bulan dan
matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi yang bisa menjelma menjadi Kuman
Pasopati memasuki Pagar Jasmani”.
5. Definisi tak boleh
memakai kalimat negatif (tak ber-).
Kalau saya definisikan
orang miskin sebagai orang ynag tak kaya, maka definisi itu negatif. Tak
bersifat yang nyata, yang positif. Bandingkanlah dengan definisi ini: orang
miskin ialah orang yang tak punya harta benda apa-apa. Kadang dalam matematika
sebuah definisi bersifat negatif, tapi ia sebenarnya positif. Umpamanya: satu
garis lurus itu tak mengubah tujuannya. Di sini kata “tak mengubah” berarti
“menetapkan”. Jadi definisi itu boleh diganti menjadi: satu garis itu
menetapkan tujuannya. Kadang-kadang tak ada akal lain kecuali memberikan
definisi yang negatif, umpamanya: gelap itu ialah tak terang.
Apabila Gautama Budha
disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan sifat
nirwana, rohani, atau jiwa, maka dia jawab:
1. Bukan ini.
2 Bukan itu,
3. Bukan ini atau itu (either this or that,
Inggrisnya).
4. Bukan tak ini dan tak
itu (not neither this or
that).
Barangkali sebagai pusaka
dari putera raja kapilawastu yang memang pandai sekali memakai logika, walaupun
berdasar mistika, maka di masyarakat Indonesia pun kita berjumpa dengan
“jawaban main tidak” itu dalam ilmu gaib.
Terlampau panjanglah sudah
uraian kita tentang definisi. Tetapi definisi itu kita anggap sebagai wilayah
sains, ilmu pengetahuan. Tak berdefinisi, maka semua ilmu tinggal satu onggok
bukti saja, seperti seonggok pasir, tak ada pertalian masing-masing pasir. Baru
kalau didefinisikan, yang berarti juga diorganisir, disusun, digenalisir, baru
segala bukti yang teronggok tadi jadi sains. Onggokan pasir tadi baru bersatu dan
kokoh, kalau diikat dengan semen.
No comments:
Post a Comment