ILMU tentang bidang dan
bilangan yang kita pakai sekarang pada semua sekolah yang berdasar peradaban
barat ialah matematika, yang disusun oleh Euclides. Walaupun aljabar amat
penting dalam semua ilmu pengetahuan, sekarang tiadalah dia akan saya ambil
sebagai model, contoh untuk menjelaskan cara berpikir yang dipakai dalam
matematika. Barangkali di antara para pembaca tentu ada seperti saya yang
selalu diingatkan oleh guru, kalau menjawab perhitungan aritmetika janganlah
memakai cara aljabar. Peringatan dari guru itu bermakna sekali.
Memakai jalan aljabar tidak
menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali
dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita.
Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan
lebih dahulu.
Seperti mesin berhitung
yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita. Memindahkan
persoalan berhitung aritmetika tadi pada persoalan aljabar yang memang
memudahkan semua persoalan dan lekas mendapatkan hasil. Tiadalah lagi
dipikirkan jalan, cara, metode mana yang dipakai dan cara mana yang pendek dan
jitu di antara beberapa cara. Yang dipikirkannya ialah lekas mendapat hasil,
pendapatan yang betul, result.
Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada
hasil itu sendiri. Begitulah menurut pendapat penulis ini.
Belakang hari di kelas
sekolah yang lebih tinggi, penulis juga tiada begitu lagi memperhatikan hasil
itu. Kalau sudah terlihat cara yang baik di antara dua atau lebih cara, maka
sering penulis tiada lagi menyelesaikan persoalan itu sampai mendapatkan result dan tidak
perdulikan beberapa soal yang bisa diselesaikan dengan hanya satu cara. Dengan
begitu, banyak waktu terpelihara dan saya pikir kecerdasan berpikir bisa maju.
Pada matematika yang tinggi, hasil itu memang tidak begitu penting lagi.
Memang aljabar lebih
abstrak dari aritmetika, lebih terpisah dari pada benda. Pada aritmetika saja
kalau kita lihat 2 + 2 = 4, maka tiada lagi kita pikirkan bahwa dua itu cuma
bilangannya, nomornya, salah satu dari sifat barang itu, bukan benda itu
sendiri. Seperti juga hitam, ialah warna barang, bukan barang itu.
Bilangan itu sudah terpisah
dari benda dan bisa mewakili semua benda. 2 itu bisa jadi 2 kerbau atau 2
telur. Kita tahu, kalau 2 kerbau + 2 telur, kita tidak akan mendapatkan 4
kerbau atau 4 telur. Yang 4 itu cuma bilangan. Satu hal yang terpisah dari benda,
Cuma ada dalam pikiran abstrak belaka. Syahdan alajabar lebih terpisah, lebih
abstrak lagi. Marilah kita ambil formula.(a+b) (b-a) = a² - b². Kalau a itu 3
dan b itu 2 maka (3+2)(3-2) = 3 ² - 2 ². Di sebelah kiri tanda = kita peroleh 5
x 1 = 5. Di kanan 9 – 4 = 5 pula. Jadi yang di kiri bersatu, sama dengan di
kanan. inilah juga asal makna aljabar dalam bahasa Arab. Kalau 4 bukan 3
seperti diatas melainkan 5 dan b bukan 2 melainkan 3 umpamanya, maka kita
peroleh (5+3) (5-3) = 5 ² - 3 ². Di kiri tanda = kita peroleh 8 x 2 = 16. Di
kanan juga 16, yaitu 25 – 9.
Begitulah seterusnya a itu
mewakili tak berbatasnya angka, unlimited,
bisa 2, 3, 4 ....begitu juga b, mewakili tak berbatasnya. A itu tak perlu lebih
besar dari b, umpamanya (2+3) (2-3) = 2 ² - 3 ² atau 5 x (-1) = 4 – 9 = -5.
Q,E, D.
Seperti angka-angka tadi
mewakili benda, 2 kerbau atau 2 telur, begitu juga a yang mewakili angka, 2, 3,
4 dsb. Adalah hal yang abstrak, terpisah dari benda. Sedangkan angka itu
sendiri sudah abstrak, apalagi huruf a dan b dalam aljabar tadi. Aljabar adalah
ilmu yang lebih abstrak dari aritmetika, begitu terpisah dari benda.
Bukan maksud saya
mengatakan, bahwa karena matematika terpisah dari benda, maka ia tak berguna.
Jadi aljabar tinggi yang lebih abstrak tadi adalah lebih tak berguna. Sudah
tentu tidak. Bagaimanapun abstraknya aljabar, dia berdasarkan aritmetika juga,
dan aritmetika itu berdasarkan benda juga. Tetapi guna mengambil contoh untuk
menjelaskan cara berpikir, tentu kita tak boleh mulai dari ilmu yang sudah
abstrak, yang sudah sampai ke tingkat atas itu. Kita mesti ambil permulaan atau
pertengahan. Di mana cara berpikir itu masih didasarkan pada barang yang nyata,
pada bukti, facts.
Kita ambil contoh geometri. Geometri tidak diajarkan di sekolah rendah, melainkan
di sekolah menengah.
Bukti, facts, dalam geometri
memang tak selalu begitu nyata seperti pada ilmu alam atau kimia. Tetapi cukup
nyata dan bisa digambarkan dalam otak atau di atas kertas. Pentingnya geometri
terletak pada definisinya yang jitu dan “cara” yang pasti. Keduanya menambah
kecerdasan berpikir. Dari geometri kita bisa memanjat ke tangga yang lebih
tinggi. Lulusan SMP kalau punya otak sedikit lebih dari rata-rata, saya pikir
dengan belajar sendiri bisa sampai ke langit matematika, bila ia cukup sabar
dan mempunyai waktu. Tetapi susah, kalau bukan mustahil, mempelajari dan
memahami logika dan dialektika kalau tidak lebih dahulu dilatih, dididik dengan
geometri.
No comments:
Post a Comment