PERANG CUMBOK : PERANG SAUDARA - DUNIA INFORMASI

Breaking

Wednesday, 2 July 2014

PERANG CUMBOK : PERANG SAUDARA

PERANG SAUDARA

•• PERANG CUMBOK : PERANG SAUDARA ••

By: 
haumora

Sejarah panjang bangsa Indonesia dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan tak lepas dari segala tantangan dan konflik yang datang dari dalam maupun luar. Pergolakan di tiap wilayah negeri ini datang silih berganti. Tak terkecuali di bumi Serambi Mekkah, Aceh Darussalam. Ada sebuah sejarah kelam yang terkadang "katanya" tabu untuk dibicarakan oleh orang Aceh, tak semua orang Aceh memang, tapi oleh orang orang yang terkait dengan peristiwa yang disebut Perang Cumbok. Perang yang akhirnya menyemat luka dan cambuk bagi masyarakat Aceh. Tabu bukan karena dianggap sakral, tapi tabu karena seolah merobek kembali luka lama.

Lalu apa itu Perang Cumbok? 
PERANG CUMBOK adalah perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Lameulo (sekarang kota Bakti), Pidie. Nama Cumbok sendiri berasal dari nama seorang Uleebalang yaitu Teuku Cumbok. Perang ini timbul karena adanya perbedaan pendapat dan tafsir dari kaum ulama yang tergabung dalam PUSA di bawah pimpinan Teungku Daud Beureuh dan Uleebalang (Kaum Bangsawan) di bawah pimpinan Teuku Cumbok terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945. Perang ini pada dasarnya adalah pergolakan untuk meruntuhkan “Feodalisme” di Pidie yang dipicu perbedaan pandangan dalam menyikapi Kemerdekaan RI di Aceh paska proklamasi RI, dimana pihak Ulee Balang menghendaki agar Belanda kembali ke Aceh, sementara PUSA menyetujui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Perang Cumbok ini disebut juga Revolusi Sosial atau Revolusi Desember.

Bagi kaum ulama, proklamasi ini berarti telah berakhirnya kezaliman yang sudah lama dialami Bangsa Indonesia, khususnya Aceh dari penjajahan Belanda dan Jepang. Sementara, sebagian dari pihak lain (Kaum Bangsawan) melihat larinya Jepang harus diganti dengan Belanda sebagai upaya untuk memulihkan Kekuasaan Tradisional mereka yang sebagian besar telah dimimalkan oleh Jepang yang sebelumnya kekuasaan mereka besar ketika Belanda berkuasa.

Ulama Aceh dipimpin Teungku Daud Beureueh dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), melihat proklamasi adalah sesuatu yang harus dimaknai secara nyata di Aceh. PUSA didirikan atas Musyawarah Ulama untuk mempersatukan pola pikir para ulama. Dalam perkembangannya PUSA menjadi motor yang menggerakkan berbagai konflik dalam sejarah Aceh, termasuk dalam peristiwa Perang Cumbok. Sebagian warga Aceh pro Uleebalang memplesetkan PUSA sebagai Pembunuh Uleebalang Seluruh Aceh. Tapi tidak semua Uleebalang ingin Belanda kembali dan berkuasa. 

Teuku Daud Cumbok adalah Zelfbestuurder van Cumbok (setingkat Bupati), yang pusat kekuasaannya berada di Lameulo (sekarang Kota Bakti), Pidie.

Pada tanggal 10 Desember 1945, para Uleebalang mengadakan rapat konsolidasi di Lueng Putu (Pidie Jaya), tepatnya di rumah milik Teuku Laksamana Umar (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 121).

Pasca rapat yang dilaksanakan oleh para Uleebalang di Lueng Putu, untuk mewujudkan implementasi hasil keuputusan rapat, Teuku Daud Cumbok memulai perang yang dikemudian hari dikenal sebagai perang Cumbok, Revolusi Sosial atau Revolusi Desember. Perang ini menelan korban jiwa sekitar 1.500 orang (Balipost, 20/05/2003).

Proklamasi hanya menjadi momentum puncak atas terjadinya konflik antara Ulama dan Uleebalang di sekitar Pidie. Akhirnya, Uleebalang dipimpin Teuku Keumangan dengan Panglimanya Teuku Daud Cumbok dan perlawanan rakyat dipimpin Teungku Daud Beureueh dengan Panglimanya Husin AL-Mujahid. 

Pada malam tanggal 10 Desember 1945, sebagai realisasi keputusan Lueng Putu, Teuku Daud Cumbok mengambil inisiatif untuk menghukum tokoh tokoh Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dengan menyerang 4 rumah dan toko toko yang dijadikan tempat berkumpul. Meskipun, penghuninya telah terlebih dahulu menghindar.

Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA adalah organisasi yang menjadi wadah berhimpunnya sebagian besar para Ulama di Aceh. Pembentukannya berawal dari Rapat Besar di Matang Geulumpang Dua (Bireuen), pada tanggal 5 Mei 1939, dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh sebagai pemimpinnya setelah melalui proses pemilihan.

Kemudian, pada pukul 5 sore 11 Desember 1945, atas desakan Teuku Daud Cumbok, Uleebalang Samaindra (Teuku Mak Ali) melakukan gempuran hebat terhadap Gampong Garot (Pidie), yang menjadi markas gerakan rakyat melawan Cumbok.

Pada tanggal 20 Desember 1945, komplotan Cumbok melakukan aksi pembakaran madrasah (sekolah agama) di Titeue (Pidie) dan Kantor Kehakiman di beberapa tempat.

Terdorong oleh tindakan tindakan Cumbok yang telah melampaui batas batas kesabaran, Gerakan Rakyat yang terdiri dari PUSA, PRI, dan lain-lain, melakukan konsolidasi membentuk suatu badan perjuangan rakyat yang dinamakan Pusat Markas Barisan Rakyat. Mengenai Pusat Markas Barisan Rakyat ini, Mr. S.M. Amin dalam bukunya yang berjudul Kenang Kenangan Masa Lampau menjelaskan sebagai berikut: ”Dalam keadaan yang demikian, rakyat umum yang menyebelah pada partij Ulama pun
tidak tinggal diam. Pada tanggal 22 Desember telah terbentuk suatu organisasi rakyat, yang diberi nama ’Markas Besar Rakyat Umum’ yang sementara berkedudukan di Kampong Garot.”

”Organisasi baru ini diterima oleh rakyat dengan semangat bergelora. Pernyataan pernyataan persetujuan dan bantuan bantuan atas pembentukan Markas Besar inimenghujan dari seluruh pelosok daerah di Aceh,” (136).

Sejak 30 Desember 1945, antara rakyat dan Uleebalang telah terjadi perang yang sesungguhnya. Rakyat Aceh mulai melakukan serangan balik terhadap aksi-aksi brutal yang dilakukan Cumbok dan pengikutnya.

Pada tanggal 6 Januari 1946, rakyat Aceh dari beberapa daerah di luar Pidie berbondong bondong menuju Lameulo untuk mematahkan pertahanan Teuku Daud Cumbok beserta pasukannya. Dari Bireuen, ada sekitar 1.000 orang rakyat Aceh yang ikut dalam satu rombongan. Sedangkan anggota barisan yang sanggup memegang senjata kira kira satu kompi. Dengan senjata kurang lebih 100 pucuk. Diantaranya, terdapat beberapa senapan mesin ringan dan satu senapan mesin berat dari Samalanga (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 128).

Akhirnya, tibalah hari pertempuran hebat antara rakyat Aceh melawan feodal Uleebalang. Pada tanggal 12 Januari 1946, dilakukan serangan umum terhadap kota Lameulo, benteng
inti pertahanan Teuku Daud Cumbok. Gempuran dari berbagai sisi dilancarkan oleh rakyat Aceh terhadap Uleebalang yang sebelumnya pernah bertindak semena mena.

Keesokan harinya, tanggal 13 Desember 1946, pasukan revolusioner rakyat Aceh berhasil memasuki kota Lameulo. Benteng Cumbok telah diduduki oleh rakyat. Kota Lameulo kembali tenang. Rakyat dari berbagai pelosok datang ke Lameulo untuk memberikan selamat kepada pasukan Revolusioner yang berhasil menang dan turut bergembira merayakan kemenangan rakyat yang gemilang itu, dengan mendengungkan kalimat takbir
Allahu Akbar (M. Nur El Ibrahimy, 2001: 131).

Pada saat memasuki kota Lameulo, orang yang dicari, yaitu Teuku Daud Cumbok sudah terlebih dahulu kabur. Ia dan stafnya telah melarikan diri. Segera, pasukan revolusioner bergerak cepat untuk melakukan perburuan terhadap Uleebalang kejam ini, Teuku Daud Cumbok.

Setelah melakukan pembantaian terhadap rakyat Aceh, Teuku Daud Cumbok berupaya untuk kabur ke Sabang, yang pada waktu itu masih dikuasai oleh kolonial Belanda, partner Uleebalang. Ini dilakukan agar dirinya terhindar dari pasukan revolusioner rakyat Aceh yang sedang memburunya untuk diadili.

Pada tanggal 16 Januari 1946, upaya pelarian Teuku Daud Cumbok menuju ke Sabang harus berakhir di kaki Gunung Seulawah (Aceh Besar). Ia bersama stafnya dibekuk oleh
Barisan Rakyat dari Seulimuem (Aceh Besar) yang dipimpin oleh Teungku Ahmad Abdullah. Pertempuran resmi berakhir 17 Januari 1946. Nama Lameulo diganti menjadi "Kota Bakti" guna menghormati ratusan orang yang gugur di sana.

Dengan berhasilnya pembekukan terhadap Teuku Daud Cumbok, maka berakhirlah perang Cumbok yang telah banyak menimbulkan kerugian harta dan korban jiwa dikalangan rakyat
Aceh.

Disisi lain, keberhasilan rakyat Aceh menumbangkan kekuatan besar sistem feodalisme Uleebalang di Pidie, maka runtuhlah seluruh kekuasaan feodal Uleebalang yang pernah menguasai Aceh.

BILA DITINJAU akar permasalahannya, mengapa Uleebalang akhirnya berseteru dengan ulama dan rakyat Aceh? Semuanya berawal setelah Kesultanan Aceh Darussalam dihapus oleh Belanda. Dikarenakan sebagian besar Uleebalang memilih
menjadi partner kolonial Belanda, maka posisi istimewa akhirnya diberikan oleh penjajah kepada penguasa feodal ini. Raja raja kecil alias Uleebalang ini pun, lebih memilih melayani kolonial Belanda ketimbang rakyat Aceh.

Seperti disebut James T. Siegel, Antropolog dari University of California, dalam bukunya The Rope of God (1962), Perang Cumbok tak bisa lepas dari konteks tatanan sosial pada saat itu. Tatanan yang sengaja dibangun demi kepentingan Belanda.

Awalnya, 1867, Sultan Aceh diminta tunduk pada kedaulatan Hindia Belanda, yang berpusat di Batavia. Sejak itulah muncul gelombang perang panjang lagi mahal yang melahirkan pahlawan nasional sekelas Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan Teungku Cik Di Tiro (1867-1942).

Demi memenangi perang, Belanda menugasi Snouck Hurgronje, ahli ilmu Islam, guna mempelajari karakter masyarakat Aceh. Dalam The Atjehnese (1906), Snouck menganjurkan Belanda memanfaatkan Uleebalang. Setiap Uleebalang punya wewenang
penuh mengendalikan Nanggroe (Negeri). Ada 103 Nanggroe di Aceh.

Kekuasaan sebesar itu mendorong Bangsawan seperti Teuku Haji Cik Mohamad Johan Alam Syah, dari Peusangan, memakmurkan rakyatnya. Ia mengadopsi teknologi irigasi dan pendidikan, dan akomodatif terhadap Ulama. Sebaliknya Teuku Keumangan
Oemar. Ia jadi gila kuasa: menguasai lebih dari separuh areal persawahan di Nanggroe. Kala terbit sengketa di masyarakat, Uleebalang seperti Oemar berpihak pada Belanda. "Mereka punya hakim, Pengadilan, Polisi, juga penjara sendiri" kenang
M. Nur El Ibrahimy, menantu Daud Beureueh.

Dalam buku karya seorang penasehat kolonial Belanda untuk urusan pribumi dan golongan Arab, dr. R. A. Kern, yang berjudul Onderzoek Atjeh-Moorden (Pemeriksaan Pembunuhan Pembunuhan di Aceh), menjelaskan sebab Uleebalang menjadi ’mesin penghisap darah’ rakyat Aceh. Kern jelas jelas menyebut Snouck Hurgronje sebagai biang keladinya. Menurut dr. Kern, Snouck lah yang mengusulkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) agar posisi Uleebalang dan penguasa feodal lainnya yang menentang ulama diperkuat. Padahal secara sosial, Ulama lebih dekat dengan rakyat Aceh
daripada penguasa feodal (Uleebalang). Konflik Ulama dan Uleebalang memang telah dimulai semenjak sebagian dari raja raja kecil ini bekerjasama dengan kolonial Belanda. Diawali dengan pengkhianatan Teuku Nek Meuraxa dan makin meruncing paska berakhirnya Kesultanan Aceh Darussalam setelah jatuhnya Sultan terakhir Aceh, Muhammad Daud Syah. Berlangsung, antara tahun 1903 – 1946.

Kern menyebutkan kekuasaan Uleebalang mulai diperkuat setelah perang. Secara ekonomis, mereka memperoleh lebih banyak kekuasaan karena menjadi pemimpin perusahaan perusahaan bisnis dan bekerjasama dengan pengusaha pengusaha Barat yang bergerak dibidang perkebunan atau pertambangan.

Bahkan Uleebalang berperan dalam berbagai aturan sosial. Antara lain, Peradilan, Hukum Perkawinan, pemberian beasiswa, dan lain-lain. Hingga posisi Uleebalang menjadi kebal hukum karena tidak ada perangkat yang dapat menggugat mereka. Akibat kekuasaan feodalistik ini, rakyat Aceh tidak memiliki perlindungan hingga menjadi pasif. (Kawilarang, 2008: 146)

Karena tekanan dari kubu Uleebalang itulah akhirnya memunculkan Revolusi Sosial rakyat Aceh yang digerakkan oleh kaum Ulama Aceh. Bahkan rumah indah milik Teuku Oemar Keumangan beserta seluruh isinya-senilai Rp 12 juta saat itu-dibakar habis. Ironisnya, Teuku Ahmad Jeunib, yang jelas jelas menyatakan setia pada Republik, tidak luput dari pembantaian. Para korban termasuk orang tua dan anak anak Uleebalang yang tak berdosa.

Farhan Hamid ingat satu peristiwa yang dituturkan oleh ayahnya. Serombongan orang meminta ayahnya datang ke sebuah lapangan. Di sana, puluhan orang bersiap siap menghabisi belasan bocah, anak anak para Uleebalang. Ayah Hamid terperanjat, berteriak: "Tunjukkan padaku Hukum Allah yang membenarkan tindakan ini." Massa terdiam. Anak-anak itu lantas dilindungi di pesantren milik keluarganya.

Salah satu keturunan Uleebalang yang selamat berhasil dihubungi TEMPO, karena trauma di masa itu, dia tidak mau disebut identitasnya, menolak berkomentar. "Saya ini sudah uzur, lebih baik tak usah ngomongin hal itu," katanya. Terlalu pahit

No comments: