Penggagas istilah
"halal bi halal" ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah.
Ceritanya begini :
Setelah Indonesia
merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa.
Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum.
Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948,
yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke
Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi
politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada
Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya
Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.
Lalu Bung Karno
menjawab, "Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu
gampang", kata Kiai Wahab. "Begini, para elit politik tidak mau
bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa.
Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan.
Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,
sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah 'halal bi halal'", jelas
Kiai Wahab.
Dari saran Kiai
Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu,
mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri
silaturrahmi yang diberi judul 'Halal bi Halal' dan akhirnya mereka bisa duduk
dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan
bangsa.
Sejak saat itulah,
instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan
Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas,
terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.
Jadi Bung Karno
bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga
dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia
saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Kalau kegiatan
halal bihalal sendiri, kegiatan ini dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau
yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau
menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara
serentak di balai istana.
Semua punggawa dan
prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian
budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan
dan instansi pemerintah. akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari
kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan
istilah "Halal bi Halal", meskipun esensinya sudah ada.
Tapi istilah "halal
bi halal" ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan
analisa pertama *(thalabu halâl bi tharîqin halâl)* adalah : _mencari
penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni
kesalahan._
Atau dengan analisis kedua *(halâl "yujza'u" bi halâl)* adalah : _pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan._
Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thoriq.
KH Masdar Farid Mas’udi.
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Tegal, 2 Syawal 1439 H.
No comments:
Post a Comment