SEJARAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM - DUNIA INFORMASI

Breaking

Friday, 21 June 2019

SEJARAH PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM


Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang,, khususnya bidangbidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah.. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta (644-656) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh (656).

Perselisihan di kalangan Umat Islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim (Arbritrase).

Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliranaliran Teologi dalam Islam. Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah. Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut..

Namun sikap Mu’'tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya. Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan pembunuhan ‘Utsm’an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa ‘Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh ‘Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh ‘Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan ‘Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh ‘Utsman. Sebaliknya, para pembunuh ‘Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan ‘Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan ‘Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap ‘Utsman, kaum Khawarij juga memandang ‘Ali dan Mu’awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh ‘Ali dan Mu’awiyah, juga Amr ibn al-’Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu’awiyah mengalahkan Ali dalam “Peristiwa Shiffin” tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah hanya mengalami luka-luka, dan ‘Amr ibn al-’Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka ‘Amr, karena rupanya mirip)..Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional).

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsurunsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.

Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadiganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (“pengingkar” sifat-sifat Tuhan) atau al-Mu’aththilah (“pembebas” Tuhan dari sifat-sifat) 

Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahanbahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafa.

Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al- Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yangdinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hats, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini. 

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.'

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.'

Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan” hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy’ari. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy’ari ialah Abu Manshur al-Maturidi(wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy ‘ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy’ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai “jalan keselamatan”, bersama dengan sistem al-Asy’ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn ‘Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat: (…Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti.

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy’ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu’tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu al-Asy’ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: Sesungguhnya para pengikut paham Asy’ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal… Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu’tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah –sehingga kaum Mu’tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah– dan mereka (kaum Asy’ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy’ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai “sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut” Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas. Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) – menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al- Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).

Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa “hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran” (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).

Pengertian Teologi Islam

Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris, theology. Ilmu kalam ini oleh berbagai pakar diistilahkan beragam nama, antara lain: Abu Hanifah (w.150H/767M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu Figh al-Akbar.(Mustofa,1959:265) Imam Syafi’ie (w.204/819M), Imam Malik (w.179H/795M), dan Imam Jakfar as-Sadiq (148H/765M) memberinya nama ‘Ilmu Kalam, dengan istilah tokohnya Mutakallimin. Imam As-Asy’ari (w.324H/935M), al-Bagdady (w.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar University memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi (w.331H/942M), al-Ghazali (w.505H/1111M) al-Thusi (w.671H/1272M), dan al-Iji (w.756H/1355M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar (w.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid.(M.Abdel Haleem, 1996:74-75) Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The philosophy of Kalam. (Harry Sustyn Waolfson, 1976: th) Ahmad Mahmud Shubhy memberinya nama dengan istilah ‘Ilmi Kalam. M. Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. (M.Abdel Haleem, 1996:74-75) CA Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology.(C A Qadir, 1989:46) Sementara itu Harun Nasution (w.1998 M) memberi nama dengan istilah Teologi Islam. (Harun Nasution, 1986:31)

Berkenaan dengan itu, terdapat para pakar yang mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan) (William L Resse, 1980:28) Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ochkam, L Resse menyatakan bahwa “Theology to be a discipline resting on revealed truth an independent of both philosophy and science”. (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen). (William L. Resse, 1980:28-29) Dengan nada yang hampir sama Ibn Kaldun yang menyatakan bahwa teologi atau kalam adalah ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodok Muslim.(Ibn Kaldun, 2001:589)

Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar, atau—meminjam bahasa Hanafi—karena mengkaji obyek yang paling mulia, yaitu Allah.


Dari uraian pemikiran-pemikiran kalam diatas setidak-tidaknya kita dapat menunjukkan terhadap doktrin-doktrin teologi Islam yang kalau di rangkum sebagai berikut:
1. Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al- Asy’ari, 1903:9) Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang bersifat al-Ikhtiariyah berasal dari manusia itu sendiri akan tetapi bergantung pada kekuasaan Allah terhadap hamba-Nya. Disini posisi manusia adalah sebagai pemilih dan bukanlah penentu. Karena Allah telah menganugerahkan manusia akal agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, lalu mengutus Rasul-Nya agar dapat memberikan petunjuk kepada manusia akan apa yang diperintahkan dan dilarang Allah kepada seluruh umat manusia.(Abdul Al-jabbar bin Ahmad, 1965:227) Jabariyah dalam hal ini berpendapat bahwa manusia adalah penentu dan bukan pemilih, tetapi semuanya tetap ciptaan Allah.

2. Melihat Allah
Perdebatan sengit antara al-Asy’ari dengan kaum ortodoks ekstrim terutama Dzahiriyah yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat dan Allah bersemayam di Arsy’ memanglah cukup menggemparkan. Ditambah lagi dengan ketidak setujuannya terhadap paham Mu’tazillah yang ternyata berkata lain. Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat di dunia maupun di akhirat.(Yusuf,1990:92-3) Sedangkan al-Asy’ari menyatakan kepercayaannya bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi dengan tata cara yang tidak dapat diketahui secara logika dan hanya Allah lah yang mengetahuinya. Sebagaimana ilmu tentang keadaan akhirat yang ghoib, maka tidak akan ada satu orang pun yang mampu menerangkannya. Al-Asy’ari kembali menegaskan bahwa Allah dapat (jaiz) dilihat oleh para mukmin di dunia dan wajib untuk terlihat bagi para mukmin yang masuk ke dalam surga-Nya. (Al-Asy’ari, 1903:9)

3. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensiesensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46). Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8)

4. Akal dan wahyu dan kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. (C A Qadir, 1991: 70). Dalam menetukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal. (Asy-Syahrastani, 1990: 115).

5. Qadimnya Al-Qur’an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang diciptakan (makhluk dan muhdits) sehingga dia tidak qadim. Sedangkan pandangan mazhab Hambali tidak mengatakan apapun yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah qadim akan tetapi menegaskan bahwa ia adalah kalam Allah yang tidak diciptakan. Madzhab ini pun lantas menolak segala bentuk penambahan atau perincian maupun penentuan yang bersangkutan dengan hal tersebut. Al-Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. (C A Qadir, 1991: 70)

6. Keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.

7. Kedudukan orang berdosa
Menurut al-Asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Bagi Al-Asy’ari keimanan merupakan lawan dari pada kekufuran, jadi predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Sementara Mu’tazilah beranggapan bahwa orang yang berdosa besar akan berada pada posisi antara dua posisi (baina manzilatain). (Abdul Al-Qadir Al-Bagdadi, tt:351)

Kerangka Berfikir aliaran-aliran Kalam
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini:

  • Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas di sebut dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi (terpenulisng tidak boleh disamakan dengan arti lain)
  • Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak
  • Memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :

  • Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni (terpenulisng boleh mengandung arti lain).
  • Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
  • Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah mu’tazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyah. Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.:

1. Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik ang natural maupun yang supra natural dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

2. Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak dan manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah.

3. Aliran Konvergensi Sintesis
Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas transenden besifat supra sekaligus intrekosms, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain yang di kotomik. Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu berada dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Kebahagian bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.

Kritik atas Teologi Islam Klasik

Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya. Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalikmengubanya menjadi lebih baik. Kritik terhadap Teologi Islam klasik telah banyak disuarakan oleh para pemikir Islam salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah Antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif. (Hassan Hanafi, tt: 205) Menurut Fazkur Rahman, teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat. (Romas, 2000:82)
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amim Abdullah berasumsi bahwa tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalanpersoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. Algur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal. (Amin Abdullah, 1995: 36)
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besarbesaran
terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek.
Pada titik ini, Hasan Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma “empiris” (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman). Jadi, teologi adalah juga antropologi dan hermeneutika. Sebagai hermenuetika, teologi berarti suatu teori pemahaman tentang proses wahyu dari huruf sampai ketingkat kenyataan, dari logos ke praktis,
dan juga transformatika wahyu dari “pikiran” Tuhan kedalam kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan “kesadaran historis” yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; “kesadaran eidetik”, yang menjelaskan makna teks menjadi rasional; dan “kesadaran praktis” yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoretik tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan manusia didunia. (Romas, 2000:18-9)

Rekonstruksi Teologi Islam Klasik
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari’atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-’adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi. Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam, ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab person Tuhan tidaklah tunduk ada ilmu. (Hasan Hanafi, 1991:45) Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah. Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Menurut Hanafi, sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang analisis percakapan, dan sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia adalah pengertian yang mendasarkan diri pada iman. Karena itu teologi, sebagaimana antropologi, juga bermakna ilmuilmu tentang manusia, merupakan tujuan perkataan sekaligus sebagai analisis perkataan.

Hasilnya, teologi merupakan ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.(Hasan Hanafi, 1991:46)
Untuk menghasilkan teologis yang bercorak antroposentrisme, maka diperlukan redefinisi teologi dengan cara merusmuskan ulang konsep-konsep (doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat pembebasan Islam itu sendiri. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-Qur’an dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual). Dalam hal ini, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang medesak di rekontruksi agar berpihak pada paradigma antroposentrisme. Ketiga konsep tersebut adalah:

1. Konsep Tauhid.
Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam keseluruhan teologi Islam klasik. Pada teologi Islam klasik terdapat dialektika antara kebebasan manusia (free will, free act) seperti di gagas teologi-teologi rasional dan ketentuan mutlak diluar manusia (predestinasi Tuhan) sebagaimana sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional. Untuk memahami konsep tauhid yang lebih mengarah pada antroposentisme maka kita perlu melakukan redefinisi teologi tersebut. Menurut Hanafi, gagasan tauhid tidak lagi dimengerti sebagai ajaran tentang keesaan Tuhan, melainkan dipahami sebagai “kesatuan pribadi manusia, yang jauh dari prilaku dualistik seperti hipokrisi [munafik] dan perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, dan perkataan adalah identik dengan tindakan. Tauhid berarti pula kesatuan sosial, yaitu masyarakat tanpa kelas; tanpa kelas kaya dan miskin. Tauhid juga memiliki makna kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi rasial apapun, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan antara masyarakat berkembang dan maju. (Hasan Hanafi, 1991:31) Oleh sebab itu tauhid harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atas kesatuan ketuhanan menghasilkan konsep selanjutnya yaitu unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks sosial-hiris ntal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan asanya unity of mankink (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan kemanusiaan menegaskan bahwa tauhid menolak segenap penindasan atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu menghendaki adanya kesatuan pedoman hidup (al-Qur’an dan hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tauhid secara konseptual memberi arahan kepada adanya kesatuan tujuan hidup, bergerak menuju muara tunggal, Allah swt. (M. Amin Rais, 1998:109-10) Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu ‘aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pem ebasan.

2. Konsep Keadilan Sosial.
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-’adl). Konsep keadilan Tuhan yang diwacanakan oleh teologi Islam klasik terlalu membela Tuhan, padahal menurut Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masingmasing lapisan masyarakat yang berbeda. (Hasan Hanafi, 1991:46)Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-’adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia. Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia”, seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.

3. Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation, tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan.
Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an almunkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ni membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan. Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan “mengubah manusia untuk mengubah dunia”.

DISUSUN OLEH: NUR SAYYID SANTOSO KRISTEVA, M.A.
ALUMNUS S1 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA JOGJAKARTA
ALUMNUS S2 SOSIOLOGI FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM) JOGJAKARTA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA
DOSEN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL-GHOZALI (UNUGHA) CILACAP

No comments: