Mengemas Ritual Kebudayaan Menjadi
Ajang Promosi Wisata
Antar Ajong
Kabupaten Sambas bukan hanya memiliki panorama alam yang menarik, namun kawasan yang berada paling utara Kalbar dengan penduduk mayoritas Melayu ini, juga memiliki sejumlah kebudayaan yang cukup menarik. Terutama bagi mereka yang menyenangi wisaya budaya. Salah satunya adalah Antar Ajong, yang dihelat di Paloh, yaitu di Tanah Hitam.
Kabupaten Sambas bukan hanya memiliki panorama alam yang menarik, namun kawasan yang berada paling utara Kalbar dengan penduduk mayoritas Melayu ini, juga memiliki sejumlah kebudayaan yang cukup menarik. Terutama bagi mereka yang menyenangi wisaya budaya. Salah satunya adalah Antar Ajong, yang dihelat di Paloh, yaitu di Tanah Hitam.
ANTAR AJONG merupakan
upacara ritual adat untuk menanam padi yang dilaksanakan setiap tahun pada masa
bercocok tanam. Masyarakat setempat mempercayai, aktivitas tersebut dapat
membuat tanaman padinya terhindar dari serangan hama dan penyakit. Sehingga
demikian, hasil panen berlimpah untuk kemakmuran masyarakat sekampung.
Karena mengacu pada waktu tanam, maka waktu pelaksanaan Antar Ajong biasanya setiap pertenggahan tahun, sekitar Juni atau Juli. “Rencananya kedepan jadwal kegiatan tersebut akan dirutinkan berbarengan dengan aktivitas wisata lainnya di Kabupaten Sambas,” ujar Serly Narulitas SH SIP, Kasi Promosi Wisata Dinas Budparpora Kabupaten Sambas.
Karena mengacu pada waktu tanam, maka waktu pelaksanaan Antar Ajong biasanya setiap pertenggahan tahun, sekitar Juni atau Juli. “Rencananya kedepan jadwal kegiatan tersebut akan dirutinkan berbarengan dengan aktivitas wisata lainnya di Kabupaten Sambas,” ujar Serly Narulitas SH SIP, Kasi Promosi Wisata Dinas Budparpora Kabupaten Sambas.
Upacara adat budaya Antar
Ajong dimulai dengan masa persiapan pembuatan perahu Ajong diketuai oleh tokoh
adat setempat. Waktunya yaitu dua hari sebelum hari H pelepasan. Perahu Ajong
dibuat menyerupai kapal-kapal layar dalam bentuk mini yang lengkap dengan
palkan dan geladak kamar tidur mirip perahu kapal aslinya. Biasanya ukuran
badan perahu bervariasi dengan lebar 20 cm - 40 cm dan panjang 1,5 m - 4 m.
Kain yang dibuat sebagai layarnya sering tampil dalam berbagai warna tapi lebih
didominasi oleh warna putih dan kuning. Badan perahu diberi warna cat bebas
dengan variasi gambar ukiran khas sambas.
Pada malam hari H diadakan
acara memanggil para roh jahat (besiak). Prosesinya yaitu dengan cara membujuk
menyanyikan dengan mayang pinang, yang akan dikumpulkan untuk dikirim jauh dari
kampung melalui media perahu ajong. Perahu mini dini berisikan perbekalan
antara lain berbagai kue adat, ketupat pulut, cucur, deram berwarna putih dan
merah, bunga rutteh, dan dilengkapi dengan nasi pulut, beras kuning.
Selain itu, dalam Ajong
juga ada boneka mini berbentuk manusia dan hewan ternak (ayam, burung). Dapur
untuk memasak yang serba mini juga tersedia. Rempah dapur (kunyit, serai),
beras dan padi-lengkap dengan tangkainya yang dikemas dalam karung mini, bibit
pinang, pekeras adat paku dan benang putih.
Layaknya kapal yang hendak
berlayar jauh, ajong juga dilengkapi dengan peralatan tidur (tikar dan bantal),
tujuh genggam (kappal) nasi dalam variasi 7 warna, perlengkapan pertanian dan
pertukangan (cangkul, gergaji dan lain-lain).
Antar Ajong
Setelah semuanya siap, tiba saatnya untuk berangkat. Pada hari H pelepasan perahu ajong, paginya, setiap rumah penduduk dipercikan air yang telah di jampi tokoh adat (bepapas). “Tujuannya sebagai ritual adat menolak bala agar penduduk terhindar dari bala petaka dan penyakit,” jelas Serli. Air ini pula yang digunakan untuk membasahi benih agar tumbuh subur.
Setelah semuanya siap, tiba saatnya untuk berangkat. Pada hari H pelepasan perahu ajong, paginya, setiap rumah penduduk dipercikan air yang telah di jampi tokoh adat (bepapas). “Tujuannya sebagai ritual adat menolak bala agar penduduk terhindar dari bala petaka dan penyakit,” jelas Serli. Air ini pula yang digunakan untuk membasahi benih agar tumbuh subur.
Antar Ajong
Menjelang waktu untuk melepas ajong ke laut, merupaka saat yang ditunggu-tunggu masyarakat maupun pengunjung yang memadati pantai Tanah Hitam. Begitu menterai bergerak ke barat, berduyun massa mendekat ke bibir pantai. Masing-masing tak sabar untuk menyaksikan, apakah perahu ajong yang disiapkan lancar perjalanannya mengarungi lautan. Seiring dengan hembusan angin darat menuju ke laut yang cukup kencang, seketika itu pula perahu layar mini-tanpa penghuni-yang lengkap bekalannya ini meluncur ke laut.
Menjelang waktu untuk melepas ajong ke laut, merupaka saat yang ditunggu-tunggu masyarakat maupun pengunjung yang memadati pantai Tanah Hitam. Begitu menterai bergerak ke barat, berduyun massa mendekat ke bibir pantai. Masing-masing tak sabar untuk menyaksikan, apakah perahu ajong yang disiapkan lancar perjalanannya mengarungi lautan. Seiring dengan hembusan angin darat menuju ke laut yang cukup kencang, seketika itu pula perahu layar mini-tanpa penghuni-yang lengkap bekalannya ini meluncur ke laut.
Sorak sorai membahana
mengiringi ajong yang terus berlayar hingga tak lagi tampak dari sorotan mata
telanjang siapapun yang berdiri di pinggiran pantai.
Sepeninggal ajong, maka
pantang larang pun berlaku (be sam sam). Dalam sehari semalam setelah perahu
ajong dilepas, anggota masyarakat kampung tidak boleh menyembelih hewan apapun
(mengeluarkan darah). Resiko adat bila pantang larang dilanggar, yaitu membuat
100 buah ketupat-tidak boleh kurang-yang kemudian dihantarkan ke laut lepas.
“Mulai tahun ini Kami mengemas antar ajong dalam bentuk festival. Masing-masing
berlomba membuat ajong semenarik mungkin,” imbuh Kasi Promosi Wisata.**
Makna Antar Ajong Menurut
Awang Bujang (74), seorang pawang senior di Kecamatan Paloh, Antar Ajong sudah
dilakukan masyarakat setempat sejak Zaman Kerajaan Majapahit, sebelum
Kesultanan Sambas berdiri. Waktu itu, secara periodik masyarakat mengirimkan
atau mengantar upeti kepada Kerajaan Majapahit berupa hasil-hasil bumi
menggunakan perahu lancang kuning (Ajong). Setelah Kesultanan Sambas berdiri,
pengiriman upeti tersebut tidak dilakukan lagi.
Awang Bujang menerangkan,
inti Ritual Antar Ajong ini adalah mengumpulkan roh-roh jahat untuk kemudian
mengirimnya pergi berlayar. Hal ini dilakukan agar roh-roh jahat penguasa
segala hama, wabah dan bencana itu tidak mengganggu warga berikut sawah ladang
serta kebunnya. Sebagai kompensasi, warga memberikan bekal yang diperlukan roh
itu selama berlayar berupa "ratteh", beras kuning, garam, pisang,
kelapa, kue cucur, ketupat dan barang-barang keperluan lain yang dibutuhkan
rumah tangga.
"Bekal itu hanya cukup
untuk sembilan bulan. Jadi, mereka (roh-roh jahat) itu akan kembali lagi
setelah sembilan bulan," katanya. Namun, hal tersebut tidak akan menjadi
masalah karena masa panen sudah selesai (padi tahunan yang berumur sekitar delapan
bulan). Untuk menghibur roh-roh jahat itu supaya tidak marah atau merajuk, maka
dibuatlah emping beras. "Inilah sebabnya mengapa orang-orang dulu membuat
emping yang kemudian diletakkan secukupnya pada alat-alat yang digunakan ketika
bertani atau berkebun (cangkul, arit, parang dan lain-lain). Dengan begitu,
roh-roh yang dikirim berlayar tidak akan marah," jelasnya.
Proses yang sama diulang
kembali ketika memasuki musim tanam tahun berikutnya. "Istilahnya, roh-roh
jahat itu dibuat kecele," timpal Joko Waluyo. Untuk menentukan kapan
Ritual Antar Ajong dimulai, ternyata tidak sembarangan. Terlebih dahulu harus
ada wangsit atau alamat yang diterima oleh pawang dari alam gaib. Sampai
sekarang, Antar Ajong masih diyakini warga. Menurut Lihin, rata-rata masyarakat
setempat masih berpatokan kepada proses ini untuk memulai musim tanam, kecuali
yang menggunakan bibit unggul (padi tiga bulan).
Tetapi, jika dibandingkan
jumlah petani yang menggunakan bibit padi tahunan, hanya sedikit yang menanam
padi unggul. Lantas, bagaimana dengan hama penyakit tanaman dan hasil yang
didapatkan? "Hama tikus, wereng/empangau, belalang dan lain-lain memang
ada, tetapi hanya sedikit. Tidak sampai menggagalkan panen seperti yang biasa
terjadi di daerah lain. Itu kami anggap wajar karena hama-hama itu juga butuh
makan," katanya.
Bencana banjir yang
beberapa waktu lalu sempat mendera Sambas pun tidak sampai ke wilayah ini.
"Alhamdulillah, kita masih terhindar," ujar dia. Hasil panen yang
didapatkan warga pun menurutnya terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Antar Ajong ke Depan Awang
Bujang mengakui, ada sebagian masyarakat yang menganggap proses ini sebagai
perbuatan syirik. Namun, kata dia, masyarakat hendaknya tidak mencampuradukkan
masalah budaya dan tradisi dengan agama.
Pangeran Ratu H Winata
Kesuma, Pemangku Adat Kesultanan Sambas, ketika diwawancara juga menyampaikan
hal yang senada. Sementara itu, Kadis Kombudpar Sambas, Drs Haris Harahap,
menyebutkan, Antar Ajong adalah adat budaya asli yang patut dilestarikan. Ia
kagum dengan tingginya minat masyarakat menonton acara ini. "Saya baru
kali ini melihat Antar Ajong. Selama ini kita silau dengan budaya orang luar,
ternyata, budaya kita juga tidak kalah. Benar-benar luar biasa," katanya.
Haris berwacana untuk mengemas tradisi Antar Ajong ini menjadi sebuah
potensi wisata yang menjanjikan. Di luar momen ritual ini, direncanakan akan
diadakan sebuah festival antar ajong yang menampilkan utusan dari seluruh desa
di Kecamatan Teluk Keramat dan Paloh. Kegiatan ini diyakini akan dapat menarik
minat para wisatawan untuk mengunjungi Sambas.
No comments:
Post a Comment