Kondisi Geografis
Kalimantan Barat
Secara geografis Kalimantan
Barat adalah salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi Kalimantan Barat dengan ibukotanya Pontianak terletak di antara garis
20 08’ LU dan 30 05’ LS serta di antara 1080 0’ BT dan 1140 10’ BT pada peta
bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan
Barat tepat dilalui oleh Garis Khatulistiwa (garis lintang 00 ) tepatnya di atas
kota Pontianak.
Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Posisi geografis ini menjadikan Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara resmi telah memiliki akses jalan darat masuk dan keluar ke/dari negara asing, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Hal ini terjadi karena antara Kalbar dengan Serawak terbuka jalan darat antar negara yang bisa dilalui kendaraan umum via poros jalan antar negara Pontianak–Entikong–Kuching (Serawak Malaysia) sepanjang 400 Km dan dapat ditempuh enam sampai delapan jam perjalanan darat. Batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah sebelah utara Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Ada empat kabupaten sebelah utara Kalimantan Barat yang berbatasan dengan negara jiran Malaysia : Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu.
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 140.807 Km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia, atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini Membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 kilometer dan sekitar 850 kilometer dari barat ke timur. Bagian lain adalah perairan laut dengan puluhan pulau-pulau. Pulau yang besar adalah pulau Karimata dan pulau Maya.
1. GEREJA KATOLIK
Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Posisi geografis ini menjadikan Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara resmi telah memiliki akses jalan darat masuk dan keluar ke/dari negara asing, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Hal ini terjadi karena antara Kalbar dengan Serawak terbuka jalan darat antar negara yang bisa dilalui kendaraan umum via poros jalan antar negara Pontianak–Entikong–Kuching (Serawak Malaysia) sepanjang 400 Km dan dapat ditempuh enam sampai delapan jam perjalanan darat. Batas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah sebelah utara Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dan sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Ada empat kabupaten sebelah utara Kalimantan Barat yang berbatasan dengan negara jiran Malaysia : Sambas, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu.
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 140.807 Km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia, atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini Membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 kilometer dan sekitar 850 kilometer dari barat ke timur. Bagian lain adalah perairan laut dengan puluhan pulau-pulau. Pulau yang besar adalah pulau Karimata dan pulau Maya.
1. GEREJA KATOLIK
A.Kedatangan Injil di
Kalimantan Barat
Menurut data-data arsip Ordo Fransiskan mencatat bahwa pada tahun 1313 Kalimantan dikunjiungi oleh Odorico de Pordone. Ia singgah dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan mampir ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit.
Menurut data-data arsip Ordo Fransiskan mencatat bahwa pada tahun 1313 Kalimantan dikunjiungi oleh Odorico de Pordone. Ia singgah dalam rangka menuju ke Cina dari Eropa dan mampir ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta sempat singgah ke ibukota Majapahit.
Selama abad 16 banyak
misionaris mengunjungi Indonesia, tetapi tidak seorangpun yang ke Kalimantan.
Ini berlangsung sampai tahun 1688, ketika akhirnya datang lagi beberapa imam
dari Kongregasi Theatin ke Kalimantan.
Tahun 1847 Mgr. Vrancken
mengadakan kontak pertama dengan Ordo Yesuit untuk membicarakan tentang
Kalimantan. Pada masa itu Kalimanatan merupakan bagian dari provinsi Ordo
Yesuit. Dalam tahun yang sama Vikaris berunding dengan G.G. Rochussen. Kemudian
dia berbicara dengan Residen Willer dari Sambas dan Residen Pontianak dengan
hasil keputusan bahwa: G.G. . Rochussen tidak keberatan misi mulai bekerja di
Kalimantan Barat, asal di daerah di mana belum ada pendeta. Menurut artikel 171
yang dikeluarkan pemerintahan Hindia-Belanda melarang adanya misi ganda di
suatu wilayah. Pada masa itu wilayah Borneo Selatan (Kalimantan Selatan dan
Tengah saat ini) sudah dimasuki misi Protestan.
Dalam tahun 1851-1853
pastor Sanders beberapa kali melakukan survey hingga jauh di Kalimantan Barat
dan Timur, untuk menyelidiki kemungkinan-kemungkinan pembukaan misi.
Tahun 1862 Pastor van
Grinten berkeliling di pelbagai daerah orang Dayak di Kalimantan Barat. Laporan
mereka optimis jika Kalimantan akan menjadi daerah pekabaran Injil yang
berkembang, tetapi bertahun-tahun lamanya tidak ada berita lagi. Hal ini
disebabkan karena kekurangan tenaga dan waktu itu di Kalimantan Barat cukup
lama kurang aman, dan sering kali terjadi pertentangan yang kadang-kadang
hingga menimbulkan pertumpahan darah antara pemerintah dengan kongsi-kongsi yang
berkuasa di sana.
Umat Katolik Kalimantan
Barat dikunjungi oleh para misionaris dari Jakarta. Pater de Vries dalam tahun
1865 bertemu di Singkawang dengan seorang Tionghoa yang sudah dibaptis dan yang
sudah mendapat lima orang katekumen. Dalam tahun-tahun berikutnya tidak ada
berita lagi.
Dalam tahun 1872 pastor
Timmermans mengunjungi Kalimantan-Barat disertai oleh Petrus Chang, seorang
katekis yang datang dari Tiongkok dan akan bekerja di Bangka.
Antara 7 Mei dan 12 Juli
1874 Pater de Vries mengunjungi Pontianak, Sintang, Bengkayang, Sambas,
Singkawang dan Monterado. Di Singkawang ada umat Katolik Tionghoa berjumlah 51
orang yang sudah dibaptis, ada yang menjadi Katolik di Singkawang sendiri, ada
yang datang dari Bangka atau Malaya.
Di Pontianak masih terdapat
enam orang Tionghoa yang Katolik, dan beberapa di Monterado. Di tiga kota ini
Pater de Vries telah mengangkat seorangsensang atau katekis; sensang di
Pontianak ternyata mencandu, lalu dipecat. Di Singkawang seorang wanita
Tionghoa menyumbangkan sebidang tanah dengan 700 pohon kelapa. Sebuah gereja
dibangun di sana, dengan sebuah kamar untuk pastor. Koster penjaga mendapat
hasil dari pohon-pohon kelapa itu sebagai gajinya.
Karena umat Katolik sedikit
demi sedikit bertambah, Pater de Vries dan Pater Staal SJ yakin bahwa harus
ditempatkan seorang pastor tetap. Dalam tahun 1880 sudah ada umat Katolik 110
orang, yang hampir semuanya diam di Singkawang. Tahun 1884 beberapa pastor Mill
Hill dari Borneo Inggris menawarkan diri untuk bekerja di Kalimantan Barat,
tetapi ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1885 G.G. van Rees
mengizinkan didirikan stasi Singkawang yang meliputi Kalimantan Barat dengan
150 orang Katolik Tionghoa dan pulau Belitung 100 orang Tionghoa Katolik. Di
samping itu masih terdapat 100 hingga 200 orang Belanda sipil, dan sejumlah
tentara yang bertugas secara temporer. Pater Staal SJ sebagai pastor Paroki
yang pertama. Maksud utama misi Singkawang ialah mendirikan basis bagi karya
misi di antara orang-orang Dayak. Beberapa kali pastor Staal mengadakan
perjalanan untuk meninjau situasi. Nasihatnya adalah supaya misi dimulai di
antara orang-orang Dayak yang diam di sekitar Bengkayang, khususnya di Kampung
Sebalau, daerah itu tidak terlalu jauh dari Singkawang sehingga antara pastor Sebalau
dan pastor Singkawang bisa selalu mengadakan kontak. Residen Gijsbers dari
Pontianak menganjurkan agar Pater Staal juga mengunjungi daerah lain. Lima hari
berlayar memudiki sungai Kapuas sampai Semitau, pusat orang-orang Dayak dari
suku Rambai, Sebruang, dan Kantuk.
Walaupun orang-orang Daya
di sana baik, namun karena jumlah mereka sekitar 1500 jiwa saja, dan perjalanan
sulit sekali maka Pater Staal tetap di Sebalau.
Karena belum ada
misionaris, misi Dayak diundur-undurkan saja, sampai tahun 1888-1889 ketika ada
kabar bahwa salah satu Zending Protestan mungkin akan bekerja di sana, setelah
itu tentu daerah itu tertutup bagi Misi Katolik. Karena sudah dijanjikan
tambahan tenaga dari Negeri Belanda, Mgr. Claessens mohon izin untuk membuka
dua pos baru, yaitu di Bengkayang dan di Nanga Badan, dekat perbatasan Sarawak
Inggris, tempat menjabat seorang Kontrolir.
G.G. Pijnacker Hordijk
tidak keberatan, namun menganjurkan supaya Semitau dipilih karena lebih gampang
dicapai, apalagi pos Kontrolir Nanga Badan juga dipindahkan ke sana. Akhirnya
Bengkayang tidak dipilih, karena terletak di daerah kuasa Sultan Sambas di mana
para pejabatnya semua beragama Islam dan tidak ada jaminan bahwa mereka tidak
akan menghalang karya misi di antara orang-orang Daya yang masih kafir.
Yang terpilih untuk misi
baru itu ialah Pater H. Looymans, pastor di Padang (Sumatera Barat). Tanggal 29
Juli 1890 tiba di Kalimantan. Belum lama ia di Semitau, tapi jelas baginya
bahwa Semitau bukan tempat yang ideal; daerah ini merupakan pusat perdagangan
bagi daerah di sekitarnya, tetapi penduduknya hanya terdiri dari orang-orang
Tionghoa dan Melayu, dan kontak lebih mendalam dengan orang-orang Daya hampir
tidak mungkin. Karena itu ia pindah ke Sejiram , di tepi sungai Sebruang.
Daerah ini cukup banyak penduduknya dan menerima Pastor dengan ramah tamah.
Pada puncak bukit dibangun rumah sederhana. Dengan itu mulailah stasi kedua di
Sejiram.
Sementara itu perkembangan
Gereja Katolik di luar Kalimantan semakin meningkat, khususnya di Jawa dan
Flores, sehingga sangat memerlukan tenaga. Karena tidak ada tenaga baru, maka
dua pastor yang berada di Sejiram dan Singkawang di tarik kembali. Ini terjadi
pada tahun 1897. Tahun-tahun selanjutnya Singkawang masih dapat dikunjungi oleh
seorang pastor dari Bangka dua kali setahun, sedangkan Sejiram tidak mendapat
kunjungan sama sekali.
Pada tanggal 11 Februari 1905 wilayah misi Kalimantan ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan yang berpusat di Pontianak.
Pada tanggal 11 Februari 1905 wilayah misi Kalimantan ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Kalimantan yang berpusat di Pontianak.
B.Titik Balik Misi Katolik
Kalimantan Barat
Setelah terjadi penyerahan wilayah pelayanan Borneo dari Ordo Yesuit kepada Ordo Kapusin (OFM. Cap) pada tahun 1905 terjadi titik balik perkembangan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.
Suasana dramatis terjadi di Tilburg 16 Oktober 1905. Ratusan warga terkumpul di depan gereja dan biara kapusin dalam upacara pengutusan ini. Borneo (Kalimantan) pada masa itu masih dikenal sebagai daerah liar, Masyarakat Dayak digambarkan sebagai Wild Men from Borneo oleh orang Eropah. Cuaca dingin. Tapi hati mereka hangat mengambil bagian dalam semangat enam kapusin yang siap diutus ke Kalimantan. Dari umat ada yang kelihatan sedih. Ada yang secara tersembunyi mengusap sesuatu antara mata dan pipi. Itu pasti saudara keluarga dari enam misionaris itu. Ada yang menepuk bahu enam misionaris itu dengan membisikan yang sesuatu; tetapi dari wajah dan gerakan tangan mereka jelas mereka mau menggalang semangat kapusin-kapusin muda itu. Dari enam misionaris muda itu wajahnya ada yang serius dengan bayangan Kalimantan Barat sudah di depannya. Yang lain membalas umat dengan senyum gaya pahlawan. Pewartaan Injil. Itulah daya dorong bagi mereka sehingga sanggup meninggalkan saudara saudaranya; tanpa memperhitungkan kapan bisa berkumpul kembali dengan mereka..
Setelah terjadi penyerahan wilayah pelayanan Borneo dari Ordo Yesuit kepada Ordo Kapusin (OFM. Cap) pada tahun 1905 terjadi titik balik perkembangan Gereja Katolik di Kalimantan Barat.
Suasana dramatis terjadi di Tilburg 16 Oktober 1905. Ratusan warga terkumpul di depan gereja dan biara kapusin dalam upacara pengutusan ini. Borneo (Kalimantan) pada masa itu masih dikenal sebagai daerah liar, Masyarakat Dayak digambarkan sebagai Wild Men from Borneo oleh orang Eropah. Cuaca dingin. Tapi hati mereka hangat mengambil bagian dalam semangat enam kapusin yang siap diutus ke Kalimantan. Dari umat ada yang kelihatan sedih. Ada yang secara tersembunyi mengusap sesuatu antara mata dan pipi. Itu pasti saudara keluarga dari enam misionaris itu. Ada yang menepuk bahu enam misionaris itu dengan membisikan yang sesuatu; tetapi dari wajah dan gerakan tangan mereka jelas mereka mau menggalang semangat kapusin-kapusin muda itu. Dari enam misionaris muda itu wajahnya ada yang serius dengan bayangan Kalimantan Barat sudah di depannya. Yang lain membalas umat dengan senyum gaya pahlawan. Pewartaan Injil. Itulah daya dorong bagi mereka sehingga sanggup meninggalkan saudara saudaranya; tanpa memperhitungkan kapan bisa berkumpul kembali dengan mereka..
Enam kapusin itu adalah:
1.Pacificus Bos, imam, 31 tahun
2.Eugenius van Disseldorp, imam, 30 th
3.Beatus Baijens, imam, 29 th
4.Camillus Buil, imam,28 th .
5.Wilhelmus Verhulst, bruder, 30 th
6.Theodoricus van Lanen, bruder, 31 th.
1.Pacificus Bos, imam, 31 tahun
2.Eugenius van Disseldorp, imam, 30 th
3.Beatus Baijens, imam, 29 th
4.Camillus Buil, imam,28 th .
5.Wilhelmus Verhulst, bruder, 30 th
6.Theodoricus van Lanen, bruder, 31 th.
Mereka tiba di Singkawang,
30 Nopember 1905, untuk pertama kalinya enam kapusin misionaris itu menyaksikan
dengan gunung Raya dan gunung Pasi yang selama ini hanya mereka dengar saja.
Kapal menurunkan mereka di pelabuhan kuala.
Sesudah mendarat, mereka
diantar ke "pastoran", tempat sederhana yang ditinggalkan oleh
misionaris misionaris Jesuit yang sebelumnya melayani Singkawang dari Batavia.
Sebelumnya pada tanggal 10
April Pasifikus Bos OFM.Cap sudah diangkat menjadi Prefek Apostolik Kalimantan
yang pertama.
Maklumlah bahwa enam
misonaris itu belum mengerti bahasa warga warga setempat. (Kemungkinan orang
Khek dan Hoklo yang meninggalkan nama daerah Hoklonam ). Syukur ada yang
berperan sebagai juru bahasa.Segeralah pemimpin umat mengumpulkan umatnya
sekitar 150 orang. Demikanlah enam kapusin mulai dengan bagian karya mereka.
Dengan bahan bahan yang mereka bawa dari Belanda maka mereka mulai dengan sekolah. Perhatian untuk pendidikan ternyata sangat tepat, baik dalam rangka pewartaan maupun dalam perkembangan sosial lain.Jelas terasa bahwa sudah ada dasar yang diletakkan oleh misionaris misonaris dari Batavia.
Dengan bahan bahan yang mereka bawa dari Belanda maka mereka mulai dengan sekolah. Perhatian untuk pendidikan ternyata sangat tepat, baik dalam rangka pewartaan maupun dalam perkembangan sosial lain.Jelas terasa bahwa sudah ada dasar yang diletakkan oleh misionaris misonaris dari Batavia.
Tenaga awam sebagai katekis
dan pemimpin umat melanjutkan karya pewartaan dan pelayanan rohaniah bagi warga
warga. Mereka bekerjasama dengan misionaris misonaris yang baru datang itu Maka
umat gereja berkembang terus dan meluas dari pantai ke daerah daereh pedalaman.
Pada periode permulaan sebagian besar pekerjaan pelayanan umat ditangani oleh
kaum awam, selaku katekis atau guru agama. Seorang katekis yang banyak
bereperan besar dalam menyebarkan iman Katolik adalah Tsjang A Kang.
C.Penyerahan Wilayah
Pelayan Kepada Konggregrasi Lain
Wilayah Borneo terlalu luas bagi Ordo Kapusin. Sehingga pada Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/kongregrasi misionaris Keluarga Kudus ) membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.
Wilayah Borneo terlalu luas bagi Ordo Kapusin. Sehingga pada Pada tanggal 13 Agustus 1924 Superior Provinsi Ordo OFMCap di Nederland mengirim surat meminta bantuan tenaga misionaris kepada Kongregasi MSF di Grave. Pada tanggal 12 Januari 1925 pater General MSF (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/kongregrasi misionaris Keluarga Kudus ) membalas surat itu dan memberitahu, bahwa MSF bersedia mengambil alih sebagian dari Vikariat Apostolik Pontianak. Dalam tempo yang tidak lama menjadi jelas bahwa MSF kemudian dipercayai untuk mengambil alih daerah Kaltim dan Kalsel (pada waktu itu Kalteng termasuk wilayah Kalsel). Seluruh anggota Kongregasi MSF, terutama di Belanda, bersorak-sorai. Meskipun tidak ada seorang anggota dewan general yang tahu sedikitpun mengenai daerah Kalimantan yang diambil alih, tetapi hal itu dianggap tidak penting; yang penting mempunyai daerah misi sendiri.
Setelah penyerahan wilayah
kepada Kongregrasi MSF, ternyata Wilayah yang sangat luas dan medan yang sangat
berat mendorong prefecture apostolic Borneo – Kalimantan, Mgr. Pasificus Bos,
OFM. Cap. mengundang misionaris-misionaris dari kongregasi-kongregasi lain
untuk ikut serta terlibat dalam karya misi di Kalimantan. Salah satu kongregasi
yang diundang adalah SMM. Mgr. Pasificus Bos, OFM. Cap. mengundang SMM (Serikat
Maria Montfortran) melalui provincial SMM Belanda. Pimpinan Umum SMM di Roma
menyetujui usulan SMM propinsi Belanda untuk menerima undangan Prefektur
Apostolik Borneo. Pada 23 September 1938, Tahta Suci melalui Propaganda Fide
menyetujui permohonan yang diajukan oleh Prefektur Apostolik Kalimantan untuk
menyerahkan sebagian karya misi di Borneo – Kalimantan, yakni daerah misi
Sintang (sekarang keuskupan Sintang) kepada Serikat Maria Montfortan.
Daerah misi Sintang adalah
daerah yang sangat luas, kira-kira 65.000 km. Pada saat itu, benih-benih iman
mulai tertanam dan tersebar. Hal ini terbukti dengan sudah adanya 4 paroki,
yakni paroki Sejiram (1888 – paroki pertama di Kalimantan), paroki Benua
Martinus (1909), paroki Bika Nazareth (1925), dan paroki Sintang (1932).
Pada 7 April 1939, 3
misionaris SMM pertama dari Belanda, yakni P. Harry L’Ortye, P. Jan Linsen dan
Br. Bruno, tiba di Pontianak. Inilah tahun di mana SMM untuk pertama kalinya
hadir di bumi pertiwi ini. Setelah menempuh 900 km dengan perahu menyusuri
sungai Kapuas, mereka tiba di Bika Nazareth, Kapuas hulu pada 29 April 1939.
Paroki ini menjadi paroki pertama yang diserahkan Ordo Kapusin kepada SMM. Dua
bulan kemudian, P. Jan Linsen mulai membangun paroki baru, yakni paroki Maria
Tak Bernoda, Putussibau. Inilah paroki pertama yang dibangun oleh misionaris
Montfortan. Untuk memperkuat karya misi, pada 7 Maret 1940, 2 missionaris Montfortan
Belanda, yakni P. Josef Wintraaecken dan P. Lambertus van Kessel (kemudian
menjadi uskup Sintang pertama) tiba di Bika.
Kendati daerah misi sangat
luas dan berat, para Montfortan mencoba untuk melakukan yang terbaik. Semakin
hari karya misi bertumbuh dan berkembang. Mereka kemudian merencanakan untuk
mengambil alih beberapa paroki dari Kapusin. Akan tetapi, perang dunia II
membuat rencana mereka tak terpenuhi. Jepang mengalahkan Belanda dan menduduki
seluruh kepulauan nusantara. Semua orang Eropa, baik orang Belanda maupun
Ingris – misionaris dan kaum awam, termasuk kelima misionaris Montfortan
ditangkap dan dibawa ke Kuching, Malaysia. Mereka tinggal di kamp tawanan
selama 3 tahun sampai perang selesai. Setelah perang usai, mereka kembali ke
tempat pelayanan masing-masing.
Adalah penting untuk diketahui bahwa dalam masa perang, pada 1945, Aloysius Ding, orang Dayak pertama menerimakan tahbisan imamat di Flores. Ia ditahbiskan sebagai imam keuskupan. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi Montfortan. Setelah menjalani masa Novisiat di Belanda, ia mengucapkan kaul pertamanya pada 1949. Ia adalah Montfortan Indonesia pertama. Ia wafat pada 1995.
Adalah penting untuk diketahui bahwa dalam masa perang, pada 1945, Aloysius Ding, orang Dayak pertama menerimakan tahbisan imamat di Flores. Ia ditahbiskan sebagai imam keuskupan. Kemudian, ia memutuskan untuk menjadi Montfortan. Setelah menjalani masa Novisiat di Belanda, ia mengucapkan kaul pertamanya pada 1949. Ia adalah Montfortan Indonesia pertama. Ia wafat pada 1995.
Setelah perang usai,
beberapa misionaris Montfortan Belanda kembali diutus untuk memperkuat karya
misi Sintang. Pada Paskah 1947, seluruh karya misi di Kapuas Hulu dan Sintang
secara resmi diambil alih oleh para Montfortan dari tangan Kapusin. Para
Kapusin kemudian meninggalkan daerah misi Sintang.
Karya misi para Montfortan
di dalam membangun Gereja lokal semakin hari – semakin bertumbuh dan
berkembang. Pada 11 Maret 1948, Propaganda Fide meningkatkan status daerah misi
Sintang menjadi Prefectur Apostolik Sintang dan mengangkat. P. Lambertus van
Kessel sebagai Prefektur Apostolik. Pada tahun ini, terdapat 15 Montfortan dan
7 paroki. Para Montfortan tidak hanya membangun gereja-gereja, tetapi juga
sekolah-sekolah. Pada saat itu, sudah ada 17 sekolah Katolik. Para Montfortan
tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu oleh para katekis. Terdapat kira-kira 25
katekis pada 1948. Dengan ditingkatkannya status misi Sintang menjadi Prefektur
Apostolik, itu berarti bahwa terdapat dua pimpinan structural dalam karya misi,
yakni Mgr. Lambertus van Kessel, SMM sebagai Prefektur Apostolik dan P. Harry
L’Orthy sebagai Pimpinan SMM.
Tampaknya Tahta Suci begitu
senang melihat pertumbuhan dan perkembangan Prefektur Apostolik Sintang. Pada
1956, Tahta Suci, melalui Propaganda Fide, kembali meningkatkan status karya
misi Sintang dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik.
Perkembangan Gereja semakin
pesat sedangkan jumlah misionaris tidak terlalu banyak, maka bagian selatan
Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Ketapang belum dapat dilayani Prefektur
Apostolik Pontianak secara maksimal. Baru setelah perang dunia II berakhir,
ketika para Pater Passiionis datang membantu, daerah Ketapang mendapat
perhatian penuh. Mulai saat itu ketapang menghadapi masa depan gemilang. Awal
Mula Passionis di Ketapang Atas permintaan Mgr.Van Valenberg, OFM Cap memohon
agar Pater-Pater Passionis bersedia berkarya di Kalimantan Barat. Maka
permohonan ini disambut baik oleh Pater General dari Perserikatan Passionis dan
Vicaris Apostolik Pontianak memutuskan bahwa konggregasi Passionis akan
berkarnya dibawah vikariat Pontianak.
Wilayah karya pertama Passionis Belanda meliputi: Daerah Ketapang, Suka Dana dan Telok Melano. Kebanyakan penduduk terdiri atas orang Melayu, Tionghoa yang tinggal di daerah pantai dan orang Dayak di daerah pedalaman. Perjanjian dengan Kapusin dilaksanakan dengan Pater Clemens.
Wilayah karya pertama Passionis Belanda meliputi: Daerah Ketapang, Suka Dana dan Telok Melano. Kebanyakan penduduk terdiri atas orang Melayu, Tionghoa yang tinggal di daerah pantai dan orang Dayak di daerah pedalaman. Perjanjian dengan Kapusin dilaksanakan dengan Pater Clemens.
Tahun 1939 Pater Dominikus
sebagai propinsial menunjuk P.Canisius Pijnappels, CP,P.Theophile Seesing, CP
dan P.Bernadinus Knippenberg,CP untuk bersedia berkarya di Kalimantan Barat.
Atas usul Mgr.Van Valenberg sebelum berangkat sebagai missionaris perlu
dipesiapkan para missionaris dua orang belajar Bahasa Melayu selama 1 taun dan
satu orang P.Bernadinus belajar bahasa Tionghoa selama 4 tahun.
Tanggal 18 Juni 1946 tiga missionaris pertama berangkat dengan kapal laut tentara negeri Belanda "Bolendam" ke Indonesia. Keberangkatan tiga misionaris ke Indonesia merupakan saat bersejarah bagi konggregasi Passionis.P.Theo-phile Seesing, CP batal berangkat karena kondisi belum mengizinkannya diganti oleh P.Plechelmus Dullaert, CP.
Tanggal 26 Juli 1946 dengan pesawat Dakota berangkat menuju Pontianak, P.Plechelmus Dullaert, CP langsung ke Ketapang, P.Canisius Pijnappels, CP langsung ke Nyarumkop sedangkan P.Bernadinus Pijnappels, CP sebagai superior tinggal beberapa bulan di Pontianak mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, dan agama lain serta memperdalam bahasa Tionghoa khususnya Bahasa Hok Lo.
Tanggal 18 Juni 1946 tiga missionaris pertama berangkat dengan kapal laut tentara negeri Belanda "Bolendam" ke Indonesia. Keberangkatan tiga misionaris ke Indonesia merupakan saat bersejarah bagi konggregasi Passionis.P.Theo-phile Seesing, CP batal berangkat karena kondisi belum mengizinkannya diganti oleh P.Plechelmus Dullaert, CP.
Tanggal 26 Juli 1946 dengan pesawat Dakota berangkat menuju Pontianak, P.Plechelmus Dullaert, CP langsung ke Ketapang, P.Canisius Pijnappels, CP langsung ke Nyarumkop sedangkan P.Bernadinus Pijnappels, CP sebagai superior tinggal beberapa bulan di Pontianak mempelajari garis-garis besar karya pastoral, administrasi, kearsipan kebijakan misi, pemerintahan, dan agama lain serta memperdalam bahasa Tionghoa khususnya Bahasa Hok Lo.
Tanggal 1 Oktober 1946, P
Bernardinus tiba di Ketapang. Bulan November 1946 ketiga misionaris sudah
berada di Ketapang, dua pastor yaitu P.Canisius dan P.Plechelmus menetap di
pedalaman yaitu Tumbang Titi. Sedangkan P.Bernardinus menetap di Ketapang kota
untuk melayani orang-orang TiongHoa Katolik. Sampai bulan Juni 1947 ketiga
Pater masih didampingi 2 Pater Kapusin yaitu Pater Martinus dan P.Leo De Jong.
Umat Katolik waktu itu baru berjumlah kurang dari 600 orang. Umat Katolik di
Ketapang berjumlah 140 orang yang terdiri dari 106 orang Tionghoa, 19 Dayak, 10
Belanda, selebihnya di stasi-stasi. Terdiri dari 133 orang di stasi. Mereka
tinggal tersebar di Sungai Awan, Teluk Batang, Suka Dana dan Pulau Kumbang.
Tahun 1948, Misi membuka
daerah baru di Randau dan permulaan tahun 1949 di Tanjung. Dengan demikian
sudah empat daerah misi yaitu Tumbang Titi, Ketapang, Randau, dan Tanjung. Tahun
1953 misi membuka basis di Sepotong (Sungai Laur) dua Pater menetap di situ.
Tanggal 1 Juli 1950 Mgr.Van Valenberg, Uskup Agung Pontianak mengangkat Pater
Raphael Kleyne, CP sebagai vicarius delegatus untuk daerah misi Ketapang.
Tanggal 27 Februari 1952, ia bersama bruder Caspard Ridder de can de Schueren
meninggal dunia akibat kecelakaan kapal motor, tenggelam di Sungai Pesaguan.
Tahun 1953 Pater Gabriel W. Silekens, CP diangkat menjadi superior religious
Passionis misi Ketapang dan vicarius delegatus (wakil vikaris).
2.GEREJA PROTESTAN
A.Awal Pekabaran Injil
Pada awal abad XX banyak badan misi Protestan dari Eropah dan Amerika Utara mengunjungi daerah Kalimantan Barat. Tetapi pada masa itu misi hanya bekerja di pesisir pantai saja. Hanya beberapa yang mengadakan misi hingga ke pedalaman Kalimantan Barat. Penulis mencatat 2 tokoh yang berperan besar dalam mengabarkan Injil hingga ke pedalaman.
A.Awal Pekabaran Injil
Pada awal abad XX banyak badan misi Protestan dari Eropah dan Amerika Utara mengunjungi daerah Kalimantan Barat. Tetapi pada masa itu misi hanya bekerja di pesisir pantai saja. Hanya beberapa yang mengadakan misi hingga ke pedalaman Kalimantan Barat. Penulis mencatat 2 tokoh yang berperan besar dalam mengabarkan Injil hingga ke pedalaman.
1. Greet Van’t Eint
Walaupun sudah ada beberapa badan misi yang bekerja di Kalimantan Barat pada akhir abad ke-20, tetapi hingga tahun 1930 tidak ada satupun yang menjangkau daerah Sungai Landak. Kemudian pada tahun 1933 Greet van’t Eind, datang dengan penuh keberanian untuk mengabarkan Injil. Dia datang sendirian karena sebelumnya dia telah ditolak oleh tiga badan misi karena dia adalah seorang tunarunggu. Dia datang tanpa dukungan dari Badan Misi, meskipun demikian dia telah mengadakan kontak dengan sekretaris Region Beyond Missionary Union, Ebenezer Vine.
Walaupun sudah ada beberapa badan misi yang bekerja di Kalimantan Barat pada akhir abad ke-20, tetapi hingga tahun 1930 tidak ada satupun yang menjangkau daerah Sungai Landak. Kemudian pada tahun 1933 Greet van’t Eind, datang dengan penuh keberanian untuk mengabarkan Injil. Dia datang sendirian karena sebelumnya dia telah ditolak oleh tiga badan misi karena dia adalah seorang tunarunggu. Dia datang tanpa dukungan dari Badan Misi, meskipun demikian dia telah mengadakan kontak dengan sekretaris Region Beyond Missionary Union, Ebenezer Vine.
Dari Singkawang dia
melakukan perjalanan sendirian menuju pedalaman. Hingga akhirnya tiba di
Parigi. Tempat inilah yang menjadi rumahnya. Dia belajar bahasa Dayak selama
lima bulan dan berjalan hingga jauh ke pedalaman, memberitakan Injil dan
membantu mengobati orang sakit, hingga akhirnya dia meninggal pada 2 Mei 1935,
karena tertular penyakit dari orang yang ditolongnya. Dan dikuburkan di desa
Semade, Kecamatan Banyuke Hulu, Kabupaten Landak. Dari wilayah yang dilayani
oleh Greet Van’t Eint ini yang menjadi cikal bakal Gereja GPPIK (Gereja
Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus) dan GPIBI (Gereja Perhimpunan Injili
Baptis Indonesia)
Cerita tentang Greet van’t
Eind ditulis by Ebenezer G. Vine dari RBMU atas permintaan Misi Pembagian
Alkitab. Cerita itu akhirnya sampai ketangan William Sirag dan Sylvia Cushing,
misionaris di Kepulauan Canary. Sirag yang sebelumnya ingin menuju Kalimantan,
tetapi gagal. Akhirnya mereka berdua menemui Pdt. Vine di London dan menikah
disana serta bersiap menuju Kalimantan.
Selama belajar bahasa
Melayu di Singkawang, mereka juga mempelajari keadaan wilayah Landak dan
memilih Darit menjadi pos mereka. Sejak tahun 1937 hingga 1940 mereka bersaksi
kepada Orang Dayak, tetapi hanya mendapatkan sedikit tanggapan. Injil cukup
menarik perhatian mereka tetapi ikatan anismisme masih terlalu kuat untuk
dilepaskan. Selain itu pengaruh Katolikisme di banyak tempat sangat kuat.
Mereka membaptis sembilan orang dan mulai membangun gereja kecil di Parigi.
Saat Perang Dunia II
berkecamuk, William Sirag ketika itu sudah mempunyai dua orang putra sedang
berada di Jawa, mereka ditangkap oleh Jepang dan di masukan ke kamp konsentrasi
sejak Desember 1942 hingga 1945. William Sirag akhirnya meninggal disana. Anak
dan istrinya kemudian pulang ke Amerika. Pada tahun 1949 Sylvia Sirag dan
Gudrun Lima datang kembali ke Kalimantan dibawah RBMU untuk melanjutkan
pelayanan yang ditinggalkan. Mereka menuju Darit sebuah kota kecamatan, dimana
(saat itu) Perigi berada. Dari sinilah menyusun rencana untuk meluaskan
pelayanan yang menjangkau wilayah Sungai Landak.
2. Arthur Mouw
Pada bulan Mei 1932 R.A Jaffray, Sebagai pimpinan C&MA (Charistian & Mission Alliance) Hindia-Belanda, melakukan survey untuk ke daerah Singkawang dan Bengkayang, tetapi kemudian seorang pejabat pemerintah Belanda menyarankan agar mereka membuka pelayanan daerah Sungai Kapuas. Kemudian dia menunjuk keluarga A. Mouw untuk membuka pelayanan di daerah Sintang. Pdt. Mouw inilah yang merintis gerejea di daerah Kalimantan Barat bagian timur yang menjadi cikal bakal GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) dan GPSK (Gereja Persekutuan Sidang Kristus).
Pada bulan Mei 1932 R.A Jaffray, Sebagai pimpinan C&MA (Charistian & Mission Alliance) Hindia-Belanda, melakukan survey untuk ke daerah Singkawang dan Bengkayang, tetapi kemudian seorang pejabat pemerintah Belanda menyarankan agar mereka membuka pelayanan daerah Sungai Kapuas. Kemudian dia menunjuk keluarga A. Mouw untuk membuka pelayanan di daerah Sintang. Pdt. Mouw inilah yang merintis gerejea di daerah Kalimantan Barat bagian timur yang menjadi cikal bakal GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) dan GPSK (Gereja Persekutuan Sidang Kristus).
Mouw dan Jaffray tiba di
Pontianak pada bulan April 1993 setelah melakukan pelayaran selama 3 minggu
dari Makasar.
Pada tahun 1934 di Sintang, A Mouw membuka daerah misi kampung Nanga Beloh, Ketungau Hilir, (sekarang kecamatan Ketungau Tengah). Dari situ mereka menuju Balai Sepuak, Belitang dengan jalan kaki dan melewati Sungai Belitang. Di Balai Sepuak misi mulai berkembang, banyak orang tertarik mendengar dan menerima Injil.
Pada tahun 1934 di Sintang, A Mouw membuka daerah misi kampung Nanga Beloh, Ketungau Hilir, (sekarang kecamatan Ketungau Tengah). Dari situ mereka menuju Balai Sepuak, Belitang dengan jalan kaki dan melewati Sungai Belitang. Di Balai Sepuak misi mulai berkembang, banyak orang tertarik mendengar dan menerima Injil.
Sebenarnya di kampung2
sekitar Nanga Beloh banyak orang yang tertarik untuk dengan misi. Tetapi dengan
adanya isu bahwa para penginjil akan menangkap orang yang mendengar Injil untuk
diambil matanya yang akan digunakan untuk umpan Naga. Jadi mereka mundur.
Sekitar tahun 1936 gereja di Balai Sepuak berdiri.
Dawan, Frans, Talib, Nawin
dari ketungau. Martin Lombok, P.N Yafet dari Belitang thn 1939 dikirim untuk
sekolah SAM (Sekolah Alkitab Makasar). Julak dan kawan-kawan lebih belakangan
sekitar 1940. Tetapi mereka tidak menamatkan SAM melainkan di Balai Sepuak.
Mereka lama tidak melanjutkan sekolah karena sibuk pelayanan disebabkan
buah-buah pemberitaan Injil berkembang pesat dan daerah pelayanan yang luas.
Setelah sekolah alkitab di Balai Sepuak dibuka mereka dipanggil untuk
meneruskan pendidikan dan menjadi tamatan pertama dibalai Sepuak.
Hampir semua siswa yang dikirim ke Makasar harus melalui PBH (pembrantasan buta huruf) kecuali Martin Lombok yang pernah menjalani pendidikan hingga kelas 5 sekolah Belanda yang didirikan misi Katolik. Lombok sendiri berasal dari hulu Kapuas yang mempunyai istri orang Belitang. Lombok menjadi ketua Kingmi wilayah kalbar yang pertmaa. Karena 1955 KINGMI menjadi badan hukum RI.
Hampir semua siswa yang dikirim ke Makasar harus melalui PBH (pembrantasan buta huruf) kecuali Martin Lombok yang pernah menjalani pendidikan hingga kelas 5 sekolah Belanda yang didirikan misi Katolik. Lombok sendiri berasal dari hulu Kapuas yang mempunyai istri orang Belitang. Lombok menjadi ketua Kingmi wilayah kalbar yang pertmaa. Karena 1955 KINGMI menjadi badan hukum RI.
Sekolah
Alkitab (SAK) berdiri di kampung Seranjing thn 1949, yang menggunakan bangunan
bekas perkebunan karet Belanda. Ini sekloah alkitab pertama di Kalimantan
Barat. 1951 sekolah pindah ke Balai Sepuak. 1964 pindah ke Kelangsam Sintang(
mejadi STP thn dan1980 menjadi STA 2002 menjadi Akademi teologia, 2008 menjadi
STT).
SAK menjadi sekolah alkitab pertama di Kalbar. Berbagai badan misi mengirimkan tenaga2 pribumi untuk menyekolahkan kadernya ke tempat ini. (RBMU, go ye fellowship , WEC. NTM (New Tribe Mission)
Siswa pertama yang masih hidup (pada saat buku ditulis) Anton dari Ketungau (Kedembak), Lewis dari Batubuil (Melawi). Ibu Katerina bersama suami, Denis, dari Batu buil.
SAK menjadi sekolah alkitab pertama di Kalbar. Berbagai badan misi mengirimkan tenaga2 pribumi untuk menyekolahkan kadernya ke tempat ini. (RBMU, go ye fellowship , WEC. NTM (New Tribe Mission)
Siswa pertama yang masih hidup (pada saat buku ditulis) Anton dari Ketungau (Kedembak), Lewis dari Batubuil (Melawi). Ibu Katerina bersama suami, Denis, dari Batu buil.
Oleh Anton Surya Wijaya Atmaja
No comments:
Post a Comment