PERKEMBANGAN MATEMATIKA
TIAP-TIAP barang itu memang
ada lawannya. Lawan plane
geometry (geometri bidang datar) tidak saja sudah terbit,
tetapi juga pesat majunya. Di Jerman dirintis oleh Riemann, di Rusia oleh
Minkofsky. Geometry baru itu tidak lagi berdasarkan atas bidang datar seperti
geometri Euclides sekarang, tetapi atas bidang melengkung. Bumi ini, begitulah
uraian ahli geometri baru ini, bulat seperti bola. Kita tahu di dua kutub bumi
kita ini sedikit data. Jadi berapapun kecilnya bagian bumi ini kita ambil, ia
tidak mungkin datar, melainkan melengkung. Jadi garis atau sudut pada bidang
melengkung in sebenarnya tidaklah lurus.
Kebenaran uraian ahli
geometri baru itu sudah tentu tak bisa dibantah. Tetapi dalam perhitungan
sehari-hari, geometri Euclides sudah memadai. Kalau salah, maka salahnya itu
tak seberapa. Begitulah juga cara yang dipakai oleh Einstein untuk menghitung
gerhana umpamanya, berlainan dengan cara Newton. Tetapi beda hasilnya tidaklah
seberapa, cuma beberapa menit atau detik saja. Bagi ahli bintang dan matematika
perbedaan hasil perhitungan yang sedikit itu tentu berarti besar, tetapi buat
kita tidak seberapa artinya.
Bagaimana nasib geometri
Euclides kelak tentulah tak seorang pun bisa menaksir. Bisa jadi Euclides tetap
dipakai buat matematika rendahan umpamanya. Sedangkan matematika tinggi dipakai
buat dasar non Euclides. Tetapi tak mustahil non Euclides dipakai buat seluruh
matematika. Mungkin pula dua sistem cara itu berpadu, diambil yang baik dari
masing-masing. Nasib ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh sifat ilmu
pengetahuan itu sendiri saja, tetapi juga oleh industri dan kelas yang
membutuhkan ilmu itu. Siapa tahu perusahaan baru atau pesawat baru lebih cocok
dengan sistem Riemann. Kalau begitu maka sistem inilah yang akan dikembangkan
oleh satu golongan atau negara baru.
Bagaimana pun hari
depan plane geometry,
ilmu ini cukup baik untuk dipakai mengasah otak. Selain itu, yang bisa memberi
obat haus pada otak kita manusia umumnya dan pada penagih pemadat matematika
khususnya, ialah rasa ingin tahu. Kita manusia, memang hewan yang ingin
tahu. Curious,
niewsgiering. Dalam hal ini kita lebih ingin tahu dibanding monyet,
tikus, dan binatang apapun juga.
Sedikit menyimpang, tetapi
berbalik kesana juga! Penulis ini tegasnya, dalam pelariannya yang lama itu
bukan saja kesehatannya yang turun naik, tetapi kantongnya pun merasakan pasang
naik dan pasang surut itu. Tetapi dalam perasaan kekurangan materi, penulis
banyak mendapatkan materi pada ilmu tak bermateri. Pada matematika ini.
Persoalan matematika melupakan banyak perkara lain-lain yang tidak diharapkan
lekas datang.
Jawaban atas soal
matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan pada diri sendiri dan
kegiatan untuk meneruskan. Terutama bahasa yang dipakai dalam matematika –
bahasa Inggrisnya umpamanya- jitu tajam, terang, dan merdu! Ya, merdu buat si
penulis. Semerdu-merdunya, sebab memenuhi sifat-sifat sains.
Memang masyarakat kita
kekurangan pimpinan dan kebutuhan pendidikan. Kegemaran berhitung dan berpikir
memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya kenal ketika saya masih pemuda,
kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa. Di tanah Batak dan Minangkabau
kegiatan itu sampai ke puncak. Di lain tempat di Jawa Tengah umpamanya, saya
dengar begitu juga. Tetapi kita tak mempunyai pimpinan. Pendidikan ala sekolah
Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika. Kalau si murid
mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia
terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzicthter atau
insinyur. Tetapi kalau ia sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika
sebagai pelatih otak dia lemparkan sama sekali.
Perhatiannya dari mula
sampai akhir semata-mata pada gaji. Selain itu, ribuan pemuda yang bersemangat
pada matematika khususnya dan sains pada umumnya tidak mendapat kesempatan sama
sekali. Akibat kemiskinan.
Apabila soerang murid kelas
bawah dari sekolah rakyat kebetulan masuk ruang kelas tertinggi dari sekolah
itu dan melihat satu soal aritmetika di papan tulis, maka kagumlah dia. Berapa
kali pun ia baca, dia tak akan mengerti persoalan itu. Apalagi
menyelesaikannya. Apabila murid kelas tertinggi dari sekolah rakyat tadi
melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis sekolah menengah, maka
kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban. Ia merasa kepandaiannya
picik sekali. Dirinya tak berarti, Angka, huruf, garis, dan sudut kacau balau
di matanya. Sama sekali rahasia baginya. Membingungkan.
Sebenarnya matematikalah
yang paling gampang kalau dibandingkan dengan sains yang lain, yaitu bagi
mereka yang berpikir logis dan cerdik memakai cara. Bagi mereka semacam ini,
tak perlu banyak menghafalkan. Sedangkan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bumi dan
sejarah, perlu hafal menghafal berulang-ulang. Acapkali buktinya tak
terorganisir dan tidak umum layaknya matematika dan ilmu alam. Untuk
matematika, cukup kalau teori yang tak seberapa banyak itu dipegang dan
terutama sekali berpegang teguh pada cara berpikir seperti yang sudah
diuraikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain, matematika sangat teratur tingkatnya,
dari yang paling mudah ke yang sedikit lebih susah, dari sedikit susah ke
tingkat sedikit lebih tinggi, begitulah terus sampai ke puncak
setinggi-tingginya. Bagi pemuda yang berdarah logis dan cerdik, maka sekalian
tingkat itu bisa dinaiki dengan gampang. Tidak sadar mereka tiba-tiba sudah
sampai ke puncak.
Kalau sekiranya pemuda yang
tidak begitu beruntung dalam masyarakat ini, tetapi sudah punya sedikit dasar
matematika, umpamanya lepasan SMP, mau belajar sendiri, hal ini bukanlah
percobaan si cebol hendak mencapai hulan. Dari geometri bidang datar ia bisa
terus ke stereometri yang mempelajari titik dan garis tidak lagi pada satu
bidang datar melainkan beberapa bidang datar (kubus, silinder, dsb). Dari sini,
sesudah mempelajari aljabar, tak berapa susahnya naik ke tingkat yang lebih tinggi
seperti trigonometri, geometri analitis, geometri Rieman atau Minkofsky pun.
Memang pada stereometri,
kita mesti berlaku lebih abstrak daripada geometri. Di geometri kita menghadapi
sudut atau bidang yang bisa digambarkan di atas kertas, tetapi pada stereometri
acapkali gambaran sudut atau bidang itu mesti digambarkan dalam otak saja.
Memang, dengan Minsofsky
kita mesti lebih abstrak lagi bila menggambarkan 4 dimensi, karena 4 dimensi
itu bersandar atas 3 dimensi seperti atap kubus yang sudah kita kenal. Kalau 2
dimensi itu terjadi dari 2 garis yang bersiku satu sama lainnya (perpendicular upon each other)
seperti bidang, maka gambar ini bisa kita buat di atas kertas. Kalau tiga
bidang siku yang bersiku pula satu sama lainnya seperti kubus, maka gambar
kubus semacam ini masih juga bisa kita bikin di atas kertas. Tetapi 4 dimensi,
yaitu tiga dimensi ditambah dimensi waktu, time, akan gambar semacam ini tak bisa
dibikin si atas kertas dan tak bisa lagi digambarkan dalam otak. Pisahan
abstraksi semacam ini sudah sampai ke puncaknya.
Tetapi dengan memakai hukum
yang diberikan oleh matematika mana juga, dengan cara sintetis, analitis,
atau reductio ad
absurdum, kita biasanya dapat menyelesaikan satu persoalan, bahkan
teori relativitas Einstein pun. Sebagian saja kalau tidak seluruhnya. Sistemnya
saja, kalau sisanya tidak bisa kita pahami.
Sedikit tentang teori
relativitas ini. saya tidak ahli dalam hal ini. Beberapa buku sudah saya baca
tentang teori ini dalam bahasa Inggris. Kebanyakan penulisnya sendiri, saya
ingat, tidak bisa menjelaskan teori baru ini. Ya, bahkan ada yang mengatakan
Einstein sendiri tak tahu apa sebetulnya teori ini. Buku Einstein sendiri,
seperti Relativitas
Khusus danRelativitas
Umum (Spezielle
Relativitat dan Algemeine
Relativitat) belum saya baca. Sudah atau belum bisa
didefinisikannya teori relativitas pada saat saya menulis ini tidaklah begitu
penting. Teori ini sudah diakui oleh ahli seluruh dunia. Teori ini bisa dipakai
dan hasilnya lebih jitu dari yang sudah, katanya. Barangkali karena teori ini
masih muda maka ia belum bisa didefinisikan, seperti juga listrik umpamanya.
Listrik bisa ditimbulkan, diukur dan dipakai kekuatannya, tetapi kalau
ditanyakan “apa” lsitrik itu, maka jawabnya masih berupa hipotesis. Hal ini
saya pikir tidaklah merugikan. Sepanjang perkiraan saya, selama masih ada
pemikir dan pikiran di dunia ini, selama itu pula akan terus menerus
adanya hypotheses,
azioma, postulates, dugaan sebagai pangkalan berpikir. Seperti
sebuah pangkalan kapal bisa diganti, begitu juga hipotesis tadi bisa diganti.
Maksud saya mengemukakan
teori relativitas ini adalah untuk sekali lagi menasehati pemuda kita yang
punya otak dan waktu, agar mempelajari teori yang dianggap paling penting ini.
Cuma berhubung dengan nasehat ini, maka saya sedikit hendak menguraikan kesan
yang saya peroleh tentang teori muda ini.
Lima belas tahun lalu saya
pelajari sendiri teori ini sewaktu di Tiongkok. Sesudah itu saya sama sekali
tak membaca buku tentang itu. Sekarang sudah tentu bukan waktunya dan sama sama
sekali tak ada pustaka buat mempelajarinya sekali lagi. Memang dulu saya sudah
bisa memahami beberapa rumus Lorentz yang dipakai oleh Einstein. Tapi tak satu
pun rumus itu masuk ke dalam jembatan keledai ingatan saya. Kesan terpenting
yang saya dapatkan dari teori ini adalah kesan yang berhubungan dengan maksud
buku ini, yakni reaksi persinggungan “arah” dan kecepatan”, suatu pergerakan
dengan “titik pandang”.
Contoh (dari saya sendiri):
sebuah kereta api berjalan dari Timur ke Barat. Seorang penumpuang dalam kereta
api itu berjalan dari Barat ke Timur, jadi arah penumpang itu bertentangan
dengan arah kereta api. Tetapi dipandang dari satu titik di atas rel kereta,
maka si penumpang sama arahnya dengan kereta, ialah dari Timur ke Barat
(kecuali kalau si penumpang berjalan lebih cepat dari kereta). Dipandang dari
satu titik pada lingkaran bumi mengelilingi matahari, maka orang tadi dengan
bumi ini berjalan dari Barat ke Timur. Demikianlah arah tadi bergantung pada
“titik” memandang.
Kecepatan juga begitu! Dua
orang, A dan B berjalan bersongsongan. A berjalan menuju B dan B berjalan
menuju A. Kecepatan A 7 km/jam dan B 6 km/jam. Jadi dalam 1 jam A 13 km
menghampiri B. Sekarang mereka bertemu pada satu titik. Dari titik ini mereka
sama-sama berjalan, umpamanya dari Barat ke Timur. Kalau sekarang A melihat
pada B, maka tiap-tiap jam A meninggalkan B 1 km (7-6). Kalau dibandingkan
dengan posisi B, seolah-olah A berjalan 1 km saja tiap jam. Umpamanya ada orang
lain, C, berjalan juga dari Barat ke Timur, searah dengan A dan sama cepat
dengannya (7 km/jam). Maka A melihat C seolah-olah tak bergerak. Kalau ia
melihat pada C saja, maka ia sangka ia berjalan 0 km dalam 1 jam. Dipandang
dari titik baru ini, ia tak maju dan tak mundur.
Dalam hal ini titik
memandang adalah pangkal berpikir. Arah dan kecepatan kita pergi berkaitan
relatif dengan titik kita memandang.
Dalam hal ini, kalau saya tak salah, maka teori relativitas itu
berhubungan dengan Dialektika. Sepintas lalu saya mau katakan seolah-olah cara
berpikir dalam geometri itu berbanding dengan logika, seperti cara relativitas
dengan dialektika
No comments:
Post a Comment