PERKEMBANGAN MATEMATIKA - DUNIA INFORMASI

Breaking

Saturday, 5 July 2014

PERKEMBANGAN MATEMATIKA

PERKEMBANGAN MATEMATIKA

TIAP-TIAP barang itu memang ada lawannya. Lawan plane geometry (geometri bidang datar) tidak saja sudah terbit, tetapi juga pesat majunya. Di Jerman dirintis oleh Riemann, di Rusia oleh Minkofsky. Geometry baru itu tidak lagi berdasarkan atas bidang datar seperti geometri Euclides sekarang, tetapi atas bidang melengkung. Bumi ini, begitulah uraian ahli geometri baru ini, bulat seperti bola. Kita tahu di dua kutub bumi kita ini sedikit data. Jadi berapapun kecilnya bagian bumi ini kita ambil, ia tidak mungkin datar, melainkan melengkung. Jadi garis atau sudut pada bidang melengkung in sebenarnya tidaklah lurus.

Kebenaran uraian ahli geometri baru itu sudah tentu tak bisa dibantah. Tetapi dalam perhitungan sehari-hari, geometri Euclides sudah memadai. Kalau salah, maka salahnya itu tak seberapa. Begitulah juga cara yang dipakai oleh Einstein untuk menghitung gerhana umpamanya, berlainan dengan cara Newton. Tetapi beda hasilnya tidaklah seberapa, cuma beberapa menit atau detik saja. Bagi ahli bintang dan matematika perbedaan hasil perhitungan yang sedikit itu tentu berarti besar, tetapi buat kita tidak seberapa artinya.

Bagaimana nasib geometri Euclides kelak tentulah tak seorang pun bisa menaksir. Bisa jadi Euclides tetap dipakai buat matematika rendahan umpamanya. Sedangkan matematika tinggi dipakai buat dasar non Euclides. Tetapi tak mustahil non Euclides dipakai buat seluruh matematika. Mungkin pula dua sistem cara itu berpadu, diambil yang baik dari masing-masing. Nasib ilmu pengetahuan tidak ditentukan oleh sifat ilmu pengetahuan itu sendiri saja, tetapi juga oleh industri dan kelas yang membutuhkan ilmu itu. Siapa tahu perusahaan baru atau pesawat baru lebih cocok dengan sistem Riemann. Kalau begitu maka sistem inilah yang akan dikembangkan oleh satu golongan atau negara baru.

Bagaimana pun hari depan plane geometry, ilmu ini cukup baik untuk dipakai mengasah otak. Selain itu, yang bisa memberi obat haus pada otak kita manusia umumnya dan pada penagih pemadat matematika khususnya, ialah rasa ingin tahu. Kita manusia, memang hewan yang ingin tahu. Curious, niewsgiering. Dalam hal ini kita lebih ingin tahu dibanding monyet, tikus, dan binatang apapun juga.

Sedikit menyimpang, tetapi berbalik kesana juga! Penulis ini tegasnya, dalam pelariannya yang lama itu bukan saja kesehatannya yang turun naik, tetapi kantongnya pun merasakan pasang naik dan pasang surut itu. Tetapi dalam perasaan kekurangan materi, penulis banyak mendapatkan materi pada ilmu tak bermateri. Pada matematika ini. Persoalan matematika melupakan banyak perkara lain-lain yang tidak diharapkan lekas datang.
Jawaban atas soal matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan pada diri sendiri dan kegiatan untuk meneruskan. Terutama bahasa yang dipakai dalam matematika – bahasa Inggrisnya umpamanya- jitu tajam, terang, dan merdu! Ya, merdu buat si penulis. Semerdu-merdunya, sebab memenuhi sifat-sifat sains.

Memang masyarakat kita kekurangan pimpinan dan kebutuhan pendidikan. Kegemaran berhitung dan berpikir memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya kenal ketika saya masih pemuda, kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa. Di tanah Batak dan Minangkabau kegiatan itu sampai ke puncak. Di lain tempat di Jawa Tengah umpamanya, saya dengar begitu juga. Tetapi kita tak mempunyai pimpinan. Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan matematika. Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat yang tinggi, seperti opzicthter atau insinyur. Tetapi kalau ia sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika sebagai pelatih otak dia lemparkan sama sekali.

Perhatiannya dari mula sampai akhir semata-mata pada gaji. Selain itu, ribuan pemuda yang bersemangat pada matematika khususnya dan sains pada umumnya tidak mendapat kesempatan sama sekali. Akibat kemiskinan.
Apabila soerang murid kelas bawah dari sekolah rakyat kebetulan masuk ruang kelas tertinggi dari sekolah itu dan melihat satu soal aritmetika di papan tulis, maka kagumlah dia. Berapa kali pun ia baca, dia tak akan mengerti persoalan itu. Apalagi menyelesaikannya. Apabila murid kelas tertinggi dari sekolah rakyat tadi melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis sekolah menengah, maka kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban. Ia merasa kepandaiannya picik sekali. Dirinya tak berarti, Angka, huruf, garis, dan sudut kacau balau di matanya. Sama sekali rahasia baginya. Membingungkan.

Sebenarnya matematikalah yang paling gampang kalau dibandingkan dengan sains yang lain, yaitu bagi mereka yang berpikir logis dan cerdik memakai cara. Bagi mereka semacam ini, tak perlu banyak menghafalkan. Sedangkan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bumi dan sejarah, perlu hafal menghafal berulang-ulang. Acapkali buktinya tak terorganisir dan tidak umum layaknya matematika dan ilmu alam. Untuk matematika, cukup kalau teori yang tak seberapa banyak itu dipegang dan terutama sekali berpegang teguh pada cara berpikir seperti yang sudah diuraikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain, matematika sangat teratur tingkatnya, dari yang paling mudah ke yang sedikit lebih susah, dari sedikit susah ke tingkat sedikit lebih tinggi, begitulah terus sampai ke puncak setinggi-tingginya. Bagi pemuda yang berdarah logis dan cerdik, maka sekalian tingkat itu bisa dinaiki dengan gampang. Tidak sadar mereka tiba-tiba sudah sampai ke puncak.

Kalau sekiranya pemuda yang tidak begitu beruntung dalam masyarakat ini, tetapi sudah punya sedikit dasar matematika, umpamanya lepasan SMP, mau belajar sendiri, hal ini bukanlah percobaan si cebol hendak mencapai hulan. Dari geometri bidang datar ia bisa terus ke stereometri yang mempelajari titik dan garis tidak lagi pada satu bidang datar melainkan beberapa bidang datar (kubus, silinder, dsb). Dari sini, sesudah mempelajari aljabar, tak berapa susahnya naik ke tingkat yang lebih tinggi seperti trigonometri, geometri analitis, geometri Rieman atau Minkofsky pun.

Memang pada stereometri, kita mesti berlaku lebih abstrak daripada geometri. Di geometri kita menghadapi sudut atau bidang yang bisa digambarkan di atas kertas, tetapi pada stereometri acapkali gambaran sudut atau bidang itu mesti digambarkan dalam otak saja.

Memang, dengan Minsofsky kita mesti lebih abstrak lagi bila menggambarkan 4 dimensi, karena 4 dimensi itu bersandar atas 3 dimensi seperti atap kubus yang sudah kita kenal. Kalau 2 dimensi itu terjadi dari 2 garis yang bersiku satu sama lainnya (perpendicular upon each other) seperti bidang, maka gambar ini bisa kita buat di atas kertas. Kalau tiga bidang siku yang bersiku pula satu sama lainnya seperti kubus, maka gambar kubus semacam ini masih juga bisa kita bikin di atas kertas. Tetapi 4 dimensi, yaitu tiga dimensi ditambah dimensi waktu, time, akan gambar semacam ini tak bisa dibikin si atas kertas dan tak bisa lagi digambarkan dalam otak. Pisahan abstraksi semacam ini sudah sampai ke puncaknya.

Tetapi dengan memakai hukum yang diberikan oleh matematika mana juga, dengan cara sintetis, analitis, atau reductio ad absurdum, kita biasanya dapat menyelesaikan satu persoalan, bahkan teori relativitas Einstein pun. Sebagian saja kalau tidak seluruhnya. Sistemnya saja, kalau sisanya tidak bisa kita pahami.

Sedikit tentang teori relativitas ini. saya tidak ahli dalam hal ini. Beberapa buku sudah saya baca tentang teori ini dalam bahasa Inggris. Kebanyakan penulisnya sendiri, saya ingat, tidak bisa menjelaskan teori baru ini. Ya, bahkan ada yang mengatakan Einstein sendiri tak tahu apa sebetulnya teori ini. Buku Einstein sendiri, seperti Relativitas Khusus danRelativitas Umum (Spezielle Relativitat dan Algemeine Relativitat) belum saya baca. Sudah atau belum bisa didefinisikannya teori relativitas pada saat saya menulis ini tidaklah begitu penting. Teori ini sudah diakui oleh ahli seluruh dunia. Teori ini bisa dipakai dan hasilnya lebih jitu dari yang sudah, katanya. Barangkali karena teori ini masih muda maka ia belum bisa didefinisikan, seperti juga listrik umpamanya. Listrik bisa ditimbulkan, diukur dan dipakai kekuatannya, tetapi kalau ditanyakan “apa” lsitrik itu, maka jawabnya masih berupa hipotesis. Hal ini saya pikir tidaklah merugikan. Sepanjang perkiraan saya, selama masih ada pemikir dan pikiran di dunia ini, selama itu pula akan terus menerus adanya hypotheses, azioma, postulates, dugaan sebagai pangkalan berpikir. Seperti sebuah pangkalan kapal bisa diganti, begitu juga hipotesis tadi bisa diganti.

Maksud saya mengemukakan teori relativitas ini adalah untuk sekali lagi menasehati pemuda kita yang punya otak dan waktu, agar mempelajari teori yang dianggap paling penting ini. Cuma berhubung dengan nasehat ini, maka saya sedikit hendak menguraikan kesan yang saya peroleh tentang teori muda ini.

Lima belas tahun lalu saya pelajari sendiri teori ini sewaktu di Tiongkok. Sesudah itu saya sama sekali tak membaca buku tentang itu. Sekarang sudah tentu bukan waktunya dan sama sama sekali tak ada pustaka buat mempelajarinya sekali lagi. Memang dulu saya sudah bisa memahami beberapa rumus Lorentz yang dipakai oleh Einstein. Tapi tak satu pun rumus itu masuk ke dalam jembatan keledai ingatan saya. Kesan terpenting yang saya dapatkan dari teori ini adalah kesan yang berhubungan dengan maksud buku ini, yakni reaksi persinggungan “arah” dan kecepatan”, suatu pergerakan dengan “titik pandang”.

Contoh (dari saya sendiri): sebuah kereta api berjalan dari Timur ke Barat. Seorang penumpuang dalam kereta api itu berjalan dari Barat ke Timur, jadi arah penumpang itu bertentangan dengan arah kereta api. Tetapi dipandang dari satu titik di atas rel kereta, maka si penumpang sama arahnya dengan kereta, ialah dari Timur ke Barat (kecuali kalau si penumpang berjalan lebih cepat dari kereta). Dipandang dari satu titik pada lingkaran bumi mengelilingi matahari, maka orang tadi dengan bumi ini berjalan dari Barat ke Timur. Demikianlah arah tadi bergantung pada “titik” memandang.

Kecepatan juga begitu! Dua orang, A dan B berjalan bersongsongan. A berjalan menuju B dan B berjalan menuju A. Kecepatan A 7 km/jam dan B 6 km/jam. Jadi dalam 1 jam A 13 km menghampiri B. Sekarang mereka bertemu pada satu titik. Dari titik ini mereka sama-sama berjalan, umpamanya dari Barat ke Timur. Kalau sekarang A melihat pada B, maka tiap-tiap jam A meninggalkan B 1 km (7-6). Kalau dibandingkan dengan posisi B, seolah-olah A berjalan 1 km saja tiap jam. Umpamanya ada orang lain, C, berjalan juga dari Barat ke Timur, searah dengan A dan sama cepat dengannya (7 km/jam). Maka A melihat C seolah-olah tak bergerak. Kalau ia melihat pada C saja, maka ia sangka ia berjalan 0 km dalam 1 jam. Dipandang dari titik baru ini, ia tak maju dan tak mundur.

Dalam hal ini titik memandang adalah pangkal berpikir. Arah dan kecepatan kita pergi berkaitan relatif dengan titik kita memandang.

Dalam hal ini, kalau saya tak salah, maka teori relativitas itu berhubungan dengan Dialektika. Sepintas lalu saya mau katakan seolah-olah cara berpikir dalam geometri itu berbanding dengan logika, seperti cara relativitas dengan dialektika

No comments: