Ahlussunnah wal Jama’ah
(selanjutnya disebut Aswaja), untuk mendiskusikannya kita tidak bisa lepas dari
sejarah panjang di mana sejarah ini akan membentuk sebuah peta kesejarahan
Aswaja apabila dilihat dari berbagai perspektif. Untuk itu, penulis perlu membuat
sebuah roadmap sejarah Aswaja agar labirin Aswaja dari zaman ke zaman mudah
dibongkar dan disuguhkan dalam sebuah teks yang mudah dipahami bersama. Sebelum
membahas soal peta kesejarahan Aswaja, lebih baiknya kita mengerti pengertian
Aswaja secara tekstual-harfiahskriptural. Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja) adalah Ahlussunnah berarti ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah
Nabi Muhammad. Sementara itu, Jama’ah yang dimaksud merujuk pada jama’ahnya
Nabi Muhammad yang tak lain adalah para sahabat dan generasi selanjutnya
seperti tabi’in, tabi’ut tabi’in, termasuk imam empat madzab (ada yang
mengklasifikasikan sebagai tabi’in dan ada juga yang mengklasifikasikan sebagai
tabi’ut tabi’in) atau salafush shalih, hingga generasi berikutnya yang punya ikatan
madzab dengan generasi salafush shalih.
Setelah tahu arti atau
makna Aswaja dalam perspektif bahasa, sekarang coba kita bedah historisitas
Aswaja dari zaman ke zaman untuk mengetahui titik terang bagaimana sebetulnya
Aswaja terbentuk hingga menjadi salah satu madzab yang menjadi rebutan para
kelompok Islam di dunia. Banyak organisasi Islam bermunculan yang kemudian
masing-masing mengklaim bahwa merekalah penganut Aswaja. Secara garis besar
akan membagi historisitas Aswaja ke dalam tiga fase besar. Pertama, fase
teologis. Kedua, fase sosial-politik. Ketiga, fase madzab. Fase madzab juga
berarti fase aliran atau ideologi. Ini hanya ijtihad dan formula ilmiah
kesejarahan yang penulis buat secara pribadi, tidak merujuk dari buku atau
kitab mana pun sehingga Anda boleh setuju atau tidak. Yang jelas, klasifikasi
fase Aswaja ini penulis buat untuk memudahkan pemahaman terhadap roadmap
sejarah Aswaja.
Aswaja pada fase
teologi dibagi lagi ke dalam dua fase, yaitu fase teologi substantif dan fase
teologi formal. Pada fase teologi substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad
diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di
mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian
dikenal dengan Islam. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat
manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu
diajarkan oleh Nabi. Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama
sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk
mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal
muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta
untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti
“ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk
Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja. Oleh karena itu, penulis lebih
suka menamai fase ini dengan fase teologi substantif.
Selanjutnya adalah fase
teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi Muhammad menjelang wafat dan
memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat Islam kelak akan terbagi ke dalam
73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yakni
golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat. Hadis ini yang kemudian oleh
warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja. Bunyi
hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya harfiahnya adalah
“Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.” Kenapa penulis namankan fase
teologi formal? Sebab, Nabi sudah mengumumkan Aswaja sebagai aliran Islam yang
akan selamat secara formal-resmi kepada umatnya. Meskipun demikian, kata
“ahlussunnah wal jama’ah” sama sekali tidak disinggung dalam peristiwa ini,
sehingga hanya sebagai basis ajaran atau teologi saja. Dengan alasan ini,
penulis lebih suka menamakan peristiwa ini sebagai fase teologi formal dalam
lintasan historisitas Aswaja.
Selanjutnya, kita coba
bahas sejarah Aswaja pada fase sosial-politik. Peristiwa ini muncul pada masa
sesudah Nabi Muhammad wafat hingga dalam periode tertentu muncul ulama besar
bernama Abu Hasan Al Asy’ari (260H - 324H, 64 tahun), tokoh Muktazilah yang
kemudian keluar dan mendirikan madzab baru dengan semangat “ma’ana alaihi wa
ashabihi”. Pengikut madzab ini kemudian dinamakan Asya’ariyah. Seiring
populernya ajaran ini, Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi
di India pada abad 11-12 Masehi, sehingga pemahaman ini mudah menyebar ke
berbagai wilayah, termasuk India, Pakistan, Afghanistan, sampai ke Indonesia.
Selain Abu Hasan Al Asy’ari, ada juga tokoh yang mendukung semangat “ma’ana
alaihi wa ashabihi”, yaitu Abu Mansur Al Maturidi yang kemudian pengikutnya
dikenal dengan Al Maturidiyah. Dua tokoh ini kemudian secara formal dikenal
sebagai ulama besar yang memelopori munculnya kembali semangat ajaran Islam
berwawasan ahlussunnah wal jama’ah di tengah derasnya arus Islam berwawasan
Jabariyah, Qodariyah, dan Mu’tazilah yang banyak membingungkan umat Muslim.
Kita kembali kepada
sejarah setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga munculnya aliran formal
Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari
dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, kepala negara atau pemimpin
dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq.
Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis.
Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya,
sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin.
Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin
Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual
Nabi. Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman
Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis
yang sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad
bahwa menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga
melahirkan sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal
negera Islam pasca-Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan
wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang
antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah. Peperangan
secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan secara
diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah sebagai
khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu
kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung
tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini,
muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij.
Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Dari sini,
golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali,
dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang
kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak
membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan
hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah. Jadi, tiga golongan Islam
pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali,
Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali mengutus Abu Musa
Al Asy’ari yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah mengutus Amru bin Ash yang
berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk
menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau
golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia
adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir
Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat dengan
Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang
mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja.
Ini hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini
yang mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu. Saat ajaran Jabariyah
menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk
melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan
kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran
Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan
dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut aliran
Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah
“Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
رَÙ…َÙ‰ٰ اللَّÙ‡َ ÙˆَÙ„َٰÙƒِÙ†َّ رَÙ…َÙŠْتَ Ø¥ِØ°ْ رَÙ…َÙŠْتَ ÙˆَÙ…َا
Artinya: “Tidaklah
engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah.”
Merebaknya ajaran
Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-orang yang malas bekerja
karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak Allah. Pun, pengemis
banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan perekonomian mulai
goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak berusaha dan
bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam
istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara
politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui
tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk
kemaslahatan umat. Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang
bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran
baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan
kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas
setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam
setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer untuk melegitimasi aliran
ini adalah QS Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul
sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah
yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa apa yang dia lakukan
adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur seiring
runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan
Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah
menjadi aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk
melakukan pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu
Dinasti Abassiyah untuk melakukan reformasi besarbesaran dan menjadi negara
maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya
aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran
Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya. Bahkan,
keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai aliran resmi
negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai aliran
pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan
terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
Berawal dari sini,
seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut Mu’tazilah dan
mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan semangat “maa
anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari. Al
Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah
atau Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan
Nabi Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya. Oleh Al Asy’ari,
paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari sini, sudah bisa dimengerti
bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada takdir. Sementara,
Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia punya
kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya kehendak
sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya. Berbeda
dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak, tetapi
dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama
besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori aliran bernama Al
Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna alaihi wa ashabihi”. Dua tokoh
ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang tauhid
atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya mendasarkan
pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni Imam
Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Imam Hambali menjadi
korban atas doktrin Mu’tazilah hingga imam Hambali dipenjara dan dihukum oleh
dua khalifah berturut-turut (al Ma’mun dan al Mu’tasim) dalam pemerintahan
Abbasiyah. Sementara itu, ulama Aswaja di bidang tasawuf yang dikenal pertama
kali adalah Imam al Gazali dan Imam Abu Qasim Al-Junaidy. Inilah sejarah Aswaja
pada fase sosial-politik.
Seiring berkembangnya ajaran
Aswaja sebagai aliran pemikiran yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan
ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya
Sunni berkembang pesat hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing-masing
kelompok Islam menggunakan ideologi Aswaja. Salah satu kelompok atau
perkumpulan Islam yang menganut Aswaja sebagai ideologi dan metode berpikir
(manhaj al-fikr). Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase
ini, Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit dan manhaj
al fikr bagi perkumpulan atau organisasi keIslaman. Dalam fase ini pula, banyak
organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam
bermadzab Aswaja.
Hadirnya para penyebar
agama Islam di Nusantara seperti Walisongo memberikan warna bagi tumbuh
suburnya aliran Aswaja di Indonesia. Walisongo menyebarkan Islam dengan cara
damai, akomodatif, moderat, toleran dan berpegang pada mengambil maslahat dan
menolak kemudaratan sebagai konsep yang dibawa oleh para ulama pendahulu yang
mengusung Aswaja. Spekulasi penulis, cara Walisongo dalam menyebarkan Islam di
Nusantara juga berpedoman pada Aswaja. Di Indonesia, tokoh yang digadang-gadang
sebagai Bapak Aswaja Indonesia boleh jadi adalah KH Hasyim Asy’ari yang merupakan
founding father pesantren Tebu Ireng, pesantren terbesar dan terpenting di Jawa
pada abad 20 an. Kenapa penulis katakan Bapak Aswaja? Sebab Hasyim Asy’ari lah
yang merumuskan secara formal bagaimana organisasi Islam yang ia bentuk
(Nahdlatul Ulama) harus menggunakan aliran Aswaja sebagai manhajul fikr.
Bersama dengan ulama
penting lainnya, Hasyim Asy’ari membentuk organisasi Islam bernama Nahdlatul
Ulama pada 31 Januari 1926 dengan Aswaja sebagai landasan dan manhajul
fikr-nya. Begini kutipannya, “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe :
Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam
Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an
Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan
kemaslahatan agama Islam.” NU secara eksplisit menjelaskan bahwa tujuan awal
dibentuknya NU adalah untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam ala Ahlussunnah
wal Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Aswaja
juga menjadi landasan atas semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU.
Bukan hanya landasan dalam kehidupan beragama, tetapi menjadi landasan moral di
setiap kehidupan sosial-politik NU.
Bertolak dari sini, ada
beberapa prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan NU (hasil
dari ijtihad KH Akil Siraj) yaitu tawasuth (moderat, sikap tengahtengah, sedang,
tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang dalam
segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli), dan Amar
ma’ruf nahi munkar. Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia
berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali.
Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi
Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan
Walisongo masih dalam bentuk ajaranajaran yang sifatnya tidak dilembagakan
dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah
wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya
Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satusatunya organisasi
keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai paham keagamaan yang dianutnya. KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai salah
seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab
al-Qânûn al Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-’Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi
dua bagian pokok, yaitu :
1) Risalah Ahlussunnah
wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan
penyebarannya di pulau Jawa, dan
2) Keharusan mengikuti
mazhab empat,
3) Karena hidup
bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan,
lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan
oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).
4) Mengenai istilah
Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa’
dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun
jalan itu tidak disukai. Menurut syara’, ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan
yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah
Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan
Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara’, ‘bid’ah’ adalah
munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan
bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
5) Yang menarik dalam
Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari melakukan serangan keras kepada
Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan
dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek
yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke
makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi
al-Muti’i dalam risalahnya Tathîr al-Fu’âd min Danas al-’Itiqâd, KH. M. Hasyim
Asy’ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik
salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin
yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
6) Dalam perkembangan
selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses
pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan
sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi
yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah,
tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari
paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang
bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU
yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri
Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil
Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah
Hasan.
Oleh para ulama
NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian:
Pertama,
Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi’in yang biasanya
disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah,
yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan
yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan Maturidi dalam bidang
teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan
tashawuf Junayd al- Bagdadi dalam bidang tashawuf.
Pengertian
pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh
kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk”
(HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan
sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga
sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan
penyebaran Islam. Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di
atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah
mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi). Sesudah genersi tersebut, yang
meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut
sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah
tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi,
yaitu ulama. Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia,
pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi nabi” (HR. Ibn
‘Ady)
Itu sebabnya,
paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan
oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya. Pengertian ini
didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya
sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam. Pengertian ini
dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama’ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya
dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw.,
yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad. Namun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih
menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam
mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti
Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid
al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.
Pengertian ini
dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan
paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab
mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang
jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus.
Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Di luar dua
pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya,
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar
moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah
harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai
mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik
ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural
dan sosio-politik yang melingkupinya.
Sejak
berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah
wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M.
Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah
dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah
menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian
harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung
dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang
kuncinya, bahkan menjadi pintupintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena
itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang
memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!” Bagi NU,
landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan)
Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan
sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab,
‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU,
Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’
para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat
dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam
dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan
baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke
Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam
menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut
NU: pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy
(al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah
dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala
campuran akidah di luar Islam. Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik,
kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat
memurnikan akidahnya. Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân,
islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan
tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang
dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga
berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Disusun Oleh:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Alumnus S1
Universitas Islam Negeri (Uin) Sunan Kalijaga Jogjakarta
Alumnus S2
Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada (Ugm) Jogjakarta
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (Pmii) Daerah Istimewa Jogjakarta
Dosen Universitas
Nahdlatul Ulama Al-Ghozali (Unugha) Cilacap
3 comments:
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^
maaf sebelumnya sahabat. apakah ini referensinya dari buku sejarah teologi islam dan akar pemikiran ASWAJA (Nur sayyid santoso kristeva, M.A) atau ada referensi dari buku yang lain seperti TEologi islama (Harun Nasution).. soalya saya belum faham betul yang di maksud dengan geneologi.
Kalau geneologi sendiri itu seperti nasab, keturunan and another
iya sahabat
di akhir artikel sudah ada referensinya
Post a Comment